Perlu dingatkan. Cerita ini mengandung kekerasan. Juga, bahasanya sangat tidak baku. Sangat berbeda dengan semua cerita yang pernah saya tulis. But still, hope you enjoy.
***
"Met, mundur Met. Cepetan mundur bego!" Garen menarik baju Mamet. Kepala temannya itu sudah berdarah terkena hantaman batu.
"An*ir kita dikasih ujan batu. Awas aja tu anak besok."
"Cepetan bego, sini. Mau mati lo?"
Mamet sudah berlari bersama berpencar dari kerumunan anak-anak sekolahnya yang lain, yang sudah panik. Mata Garen sudah berputar, mencari tempat persembunyian. Sekolah Dasar.
Tanpa pikir panjang tangannya kembali menarik baju seragam Mamet. Setengahnya dia berlari sambil merunduk menghindari hujan batu yang masih berlangsung. Mobil-mobil sudah berhenti diujung jalan, tidak ada yang berani melintas kecuali ingin mobilnya rusak karena batu, atau karena kemarahan gerombolan anak SMEA 1 yang saat ini sudah ada di jalan.
"Ngapain kesini, gila lo? Anak SD pada jadi korban entar."
Tangan Garen menempeleng kepala Mamet yang masih berdarah. "SD ini masuk pagi bego. Bacot aja lo gedein, noh kepala bocor kan?"
Mereka bersandar di dinding sambil mengambil nafas satu-satu. Tahu benar anak SMEA 1 masih dibelakangnya mengejar. Garen sudah menunduk dan menarik Mamet lagi masuk makin dalam ke area SD itu. Benar saja, sekolah itu sudah sepi. Untung? Tidak juga, karena ternyata masih ada beberapa guru disana. Dengan sigap Garen sudah menarik Mamet lagi ke salah satu ruangan. Yang ternyata, ruang guru.
"Reng, sinting lo. Ruang guru nih."
"Bodo. Mau selamet nggak lo? Berisik banget." Ujar Garen tidak perduli. Suara Bowo si anak SMEA 1 sudah ada di halaman sekolah yang sama.
"Cari cepetan. Cari!!" Suara-suara gerombolan Bowo dibelakang membuntuti mereka.
Ruangan itu sepi. Ada tongkat kasti di salah satu pojokan. Dia tahu ini nekat, cari mati. Tapi dia punya rencana. Tubuh Mamet dia dorong ke salah satu kolong meja. Dia paham benar, Mamet terluka.
"WAG Gege, pastiin dia nggak apa-apa. Bilang dia kalau Bowo disini."
"Mau kemana lo?" Mamet menarik baju Garen. Matanya benar-benar khawatir.
Garen tersenyum miring. "Senang-senang." Sudah ada tongkat kasti di satu tangannya.
"Goblok, sakit jiwa." Mamet ingin beranjak keluar tapi dia pusing sekali. Dia merutuki kebodohannya karena kurang hati-hati. Jika Garen sampai kenapa-kenapa, bisa jadi lebih gawat lagi dari ini. Tangannya sudah memijit ponsel sementara nafasnya masih menderu.
***
Ponselnya berbunyi. Dia masih marah sekali, yang dicari tidak ada. Dia hanya menemukan bocah ingusan anak kelas bawah yang sekarang sudah kencing di celana.
"Mana, Bowo?"
"Bang, saya nggak tahu Bang. Sumpah saya nggak tahu."
"Sang, udah." Boy berusaha menghentikan Gesang. Lalu ponselnya berbunyi.
"Met, kenapa?"
"Bowo disini. Sama Gareng." Mamet berbisik. Boy langsung menarik Gesang pergi dari situ. "Telpon Aryan bego. Dia pake motor."
***
"Ck...ck...ck. Ada Gareng rupanya. Beruntungnya gue." Bowo tersenyum sambil berjalan berputar. Sudah ada Ical dan Sano dibelakangnya. "Mana Gesang?"
"Kenapa harus sama Gesang?"
"Hei, jangan berantem disini." Ada seorang guru yang berteriak dari dalam ruangan.
Mereka hanya menoleh, tapi tidak perduli. Hanya satu guru yang sedang bersembunyi atau menghubungi polisi.
"Mata, dibalas mata." Bowo menatap Garen.
Dia tertawa, tertawa geli. "Bagus, lo jadi paham kalau adek bang**t lo itu yang kurang ajar sama Kaliki."
Bowo tersenyum. "Nggak ada yang tahan sama Liki...dia...imut banget. Mau gimana lagi?"
Garen sudah bersiap, dia sudah gemas ingin membungkam mulut laki-laki dihadapannya ini. Ical dan Sano sudah berjalan ke belakangnya. Ini menyenangkan.
"Biar gue aja. Jangan sentuh dia." Bowo berujar.
"Lo meremehkan gue." Garen merangsek maju tongkat dia ayunkan sekuat tenaga kearah kepala Bowo. Tangan Bowo sudah menampik tongkat itu lalu tangan kirinya mengayunkan jab ke perut Garen.
Bowo tersenyum, merasa menang. Sementara Garen mundur sedikit karena pukulan Bowo itu, lalu satu tangannya yang memegang tongkat kasti yang sebelumnya ditampik Bowo sudah mengayun kebawah kaki Bowo. Menghantam cepat hingga Bowo limbung dan jatuh. Tubuh Bowo menghantam tanah. Garen mengambil kesempatan. Dia memutar tubuhnya lalu mengayunkan tongkat itu kuat. Bowo memejamkan mata bersiap menerima hantaman kayu dikepalanya.
'Bhraakk.' Tongkat itu patah, persis disebelah telinganya.
Nafas keduanya terengah. Mata Bowo terbuka, dia pikir sakitnya belum terasa. Dia pikir dia akan melihat darah dikepalanya. Tapi tidak ada apa-apa. Kecuali wajah Garen yang sedang tersenyum miring diatas tubuhnya.
"Lagi?"
Ical dan Sano sudah merangsek maju. Garen membalik badannya, dia berhasil menghindar dari pukulan Ical lalu melayangkan jab ke perut laki-laki itu. Tapi tendangan Sano menghantam punggungnya. Sebelum Sano sempat melanjutkan, Mamet sudah menendang punggung Sano dari belakang.
"Beraninya kroyokan lo mon**t!!"
Bowo sudah berdiri. Motor Aryan sudah masuk kedalam lapangan kecil itu. Alta yang berbadan besar ada dibelakangnya. Turun dan langsung melempar helmnya ke arah Bowo.
"Sini lawan gue busuk!!"
Mereka tahu mereka sudah kalah, untuk saat ini. Alta adalah laki-laki bertubuh super besar dan Aryan, adalah salah satu dari tiga jendral perang SMA 31. Barusan dia juga sudah meremehkan Garen. Jadi Bowo hanya tersenyum sambil berjalan mundur. "Salam, buat Gesang." Lalu mereka pergi.
"Reng, lo nggak apa-apa?" Alta berujar khawatir sementara dahi Aryan sudah mengernyit kesal menatap sahabatnya itu.
Garen meludahkan sedikit darah. "Lebay lo. Cabut ayok. Polisi bentar lagi dateng. Yan, lo bawa Mamet ke klinik. Kita di base camp."
"Lo gimana?"
"Gesang bentar lagi sampe. Tenang aja." Garen berjalan cepat-cepat beriringan dengan Alta dan benar saja. Saat mereka keluar dari SD itu sudah ada mobil Gesang yang baru tiba.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bad Boys
RandomIni kisahnya Nagaren, Gesang dan Aryan. Tiga sahabat yang tidak terpisahkan. Juga ditambah dengan anggota Bad Boys lainnya. Jalinan kuat persahabatan yang diwarnai dengan rahasia-rahasia, tentang cinta, tentang luka, tentang apa arti pengorbanan, te...