Part 10 - Medan Perang

394 59 4
                                    

Garen sudah menarik Dana keluar dari warung.

"Mana Gesang?"

"Lagi ngedate. Kan lo tahu."

"Dia nggak ada disana!!" Garen sudah berteriak marah.

"Serius gue nggak tahu."

"Jadi dia dimana? Mereka dimana?"

"Ru, udah. Lo jangan ikutan. Kalau lo sampai kenapa-napa..."

"Gue bukan banci kayak lo!!"

Dana sudah mendorong tubuh Garen kasar. "Nagaren, asal lo tahu gue disini untuk tahan lo pergi kesana. Bukan karena gue nggak mau bareng mereka. Jadi lo tetap disini." Tangan Dana sudah mencengkram lengan Garen kuat. Dia marah pada temannya ini yang keras kepala sekali.

"Oke, lawan gue. Ayo maju lawan gue." Tubuh Garen sudah pasang kuda-kuda. "Gue nggak perduli kalau gue harus jatuhin teman gue sendiri karena gue tahu Gesang butuh gue."

"Dasar gila nih anak. Kalau lo ada Gesang dan Aryan malah sibuk bikin lo aman. Paham nggak sih?" Dana menggeleng tidak percaya.

Garen menampar wajah Dana kuat. "Lawan gue."

"Nggak akan. Pukul gue lagi, gue nggak akan bales. Gue nggak akan pukul perempuan."

"Dan, mereka butuh kita. Gerombolan Bowo lebih banyak. Lo pasti tahu itu kan? Mereka lebih bahaya dan Gesang lagi emosi karena ini soal Kaliki. Jadi lo harusnya paham kalau mereka butuh kita sekarang."

"Lo tetap disini."

"Hhahhhh...sia-sia ngomong sama lo. Gue cari sendiri." Garen berlalu pergi.

Dana melihat tubuh Garen berlari ke arah jalan raya. Entah bagaimana bisa kebetulan ada Mamet yang bermotor menuju ke arahnya. Ya Mamet memang tidak ikutan menyusun rencana karena masih terluka kepalanya karena insiden beberapa hari yang lalu. Tapi Dana dan Dedy membicarakan rencana mereka itu pada Mamet semalam. Dana berdecak kesal langsung mengangkat ponselnya.

"Mas Danang, Garen nyusul kesana."

Danang hanya diam diseberang sana. Dan entah bagaimana, firasat buruk itu datang membuat bulu tengkuknya berdiri. Dia harus menyusul sekalipun ini bukan pertempurannya.

***

Bowo tersenyum tengil mendengar penuturan Ical. Gesang memindahkan tempat pertemuan mereka. Bagus. Karena itu ada di areanya. Jadi dia sudah disini, menghisap rokoknya sambil menunggu. Dia membawa serta 15 anak lainnya.

Dua puluh menit kemudian Gesang datang. Lalu Alta, lalu Aryan dan yang lainnya. 16 lawan 12. Harusnya ini mudah. Sekalipun dia paham benar Gesang, Aryan dan Alta bisa menghabiskan masing-masing dua sekaligus. Tapi dia bawa senjata. Matanya mencari-cari Garen. Sedikitnya heran karena dia tidak menemukan perempuan itu disana. Bowo paham benar Garen adalah titik lemah gerombolan mereka. Sekalipun dia tahu dan paham dia tidak suka memukul perempuan, tapi jika itu dibutuhkan untuk memberi Gesang pelajaran, mungkin saja dia akan ambil pilihan terakhir itu. Lagipula cewek itu berbeda saat ini. Dia lebih kuat, dia bahkan bisa menjatuhkan Bowo sendiri.

"Gue pikir lo nggak bakalan dateng." Bowo sudah berdiri lalu menginjak rokoknya.

"Kenapa? Berubah pikiran banci?" Gesang menatapnya tajam.

"Setan dasar. Si manis ada dimana?" Bowo tertawa. "Oh ya, lagi di toko buku sama Disty. Gitu ya?"

"Nggak usah banyak bacot banci, adek lo mana? Nangis di kamar ngumpet? Beraninya sama Kaliki, bajingan banci lo semua."

Ramdan menggenggam tongkatnya kuat, tahu sekali dalam beberapa detik ini akan dimulai. Malik sudah tersenyum sadis, dia seperti menikmati semua ini.

'Hih serem. Adek kelas model begitu.' Pikir Ramdan.

Sedikitnya dia bersyukur dia membawa beberapa perlengkapan. Bukan senjata tajam, karena mereka bukan kriminal. Aryan dan Alta berdiri di kanan-kiri Gesang, tanpa senjata. Ya karena kemampuan bertempur mereka sudah diatas rata-rata. Danang sendiri yang mengajari mereka. Dia lebih bersyukur lagi karena Garen tidak ada. Atau jendral-jendral perangnya akan sibuk melindungi Garen daripada memenangkan pertempuran kali ini.

Lalu benar saja, Ical dan Sano yang memang terkenal urakan merangsek lebih dulu karena tidak sabar melihat dua pimpinan mereka 'bercanda'. Dia pun sudah maju, mengincar satu anak yang harusnya dengan mudah bisa dia kalahkan.

Pertarungan itu tidak seimbang secara jumlah sebenarnya. Tapi, harusnya bisa. Harusnya masih bisa. Ramdan sudah tidak bisa berpikir. Sibuk menghindari pukulan dan menghantam balik lawannya. Sama seperti yang lainnya. Dia melihat Alta melumpuhkan Ical dan satu lainnya. Sementara Aryan masih sibuk dengan Sano. Gesang dan Bowo memang pada level yang berbeda. Karena itu mereka ketuanya.

Entah bagaimana Sano mengeluarkan senjata tajam yang sekarang sudah dalam genggamannya. Pisau itu berkilat menyilaukan. Ramdan paham benar dia harus membantu Aryan. Jadi dia memukul keras punggung lawannya hingga pingsan. Tongkat sudah dia lemparkan ke Aryan.

"Bedebah beraninya pakai senjata. Takut kalah sama gue hah?" Aryan berteriak marah.

Bowo melirik temannya itu. Heran karena harusnya mereka tidak membawa senjata tajam. Tapi pukulan-pukulan dari Gesang membuat dia harus memfokuskan pikirannya kembali pada lawan dihadapannya.

"Jangan...pernah sentuh....Kaliki."

Satu pukulan telak mendarat di wajah Bowo. Dia mundur beberpa langkah. Lalu melihat tubuh Gesang di pukul dari belakang. Gerombolannya lebih buas dari biasanya, mungkin karena mereka melihat dia sendiri sudah hampir kewalahan menghadapi Gesang.

Lalu motor itu datang, berdecit tidak jauh dari tempat mereka berkelahi. Garen berlari menuju Gesang yang sudah dikeroyok oleh tiga orang. Dia lempar ranselnya pada salah satu gerombolan Bowo. Merangsek maju dan menghantam cowok itu. Mamet yang datang bersama Garen juga langsung menyusul membantu Alta.

"Hai, sori terlambat." Garen tersenyum miring. Marah dan tidak membiarkan lawannya menganggur begitu saja.

Apa yang dia rasakan dia lampiaskan disini. Tentang apa yang terjadi di rumah semalam, tentang apa yang terjadi di rumah sakit barusan. Tentang Aryan, tentang Danang, tentang Gesang. Juga kemarahannya pada Ayah. Garen mengamuk, karena dia dibohongi, ditinggal, disepelekan. Mereka bahkan memindahkan tempat perkelahian.

Pertarungan jadi lebih sengit dan imbang. Lawan Garen sudah tidak mampu berdiri, lalu dia melihat Aryan. Hanya pengecut yang mengeroyok orang. Tapi ini hanya tawuran kan? Jadi semua sah saja. Garen paham benar. Jadi dia sudah berlari menuju Aryan yang akan ditusuk dari belakang. Kakinya menendang tubuh pengecut itu dari samping. Pisaunya terlempar.

'Sial, Bowo bawa senjata.' Batin Garen dalam hati.

Garen berhasil memukul mundur pengecut itu. Yang dia tidak tahu, bahwa ada yang lain yang siap mengayunkan pukulannya dari belakang.

'Bhuakk.' Kepalanya pusing sekali. Dia paham dia terluka. Tubuhnya berlutut ditanah keras. Ada darah menetes dari kepalanya.

"Nagaren!!" Gesang sudah berlari ke arahnya.

Posisi Aryan paling dekat. Laki-laki itu menolehkan kepalanya ke Garen mengabaikan Sano yang sebelumnya masih dia lawan. Lalu Garen melihat Sano yang ingin menusuk Aryan dari belakang.

Semuanya seolah bergerak lebih lambat. Saat ini, Garen paham benar apa yang tadi dikatakan Danang. Ya, dia bisa membunuh siapa saja yang berusaha melukai sahabatnya. Jadi ini, untuk mereka.

Garen berdiri dengan sisa tenaganya, mendorong tubuh Aryan yang membungkuk ke arahnya. Membiarkan apapun yang dipegang Sano menghujam tubuhnya..

Sakitnya tidak langsung dia rasakan. Tapi dia tau sakit itu akan datang. Matanya masih melihat Gesang yang pelipisnya sudah berdarah dan Aryan yang sudah memegang tubuhnya yang limbung jatuh. Lalu Danang yang baru saja tiba dan sedang berlari ke arahnya. Akhirnya, semua hitam.

Bad BoysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang