Di garasi rumah Alta
"Lo nggak bisa seenaknya gitu!!" Gesang menggebrak meja sementara Boy berusaha menenangkannya.
"Jadi gue harus gimana?" Garen hanya tersenyum kecil sambil menyederkan tubuhnya di kursi panjang. Punggungnya terasa nyeri, berdenyut perlahan.
Sudah ada Gesang, Boy, Alta, dan Garen sendiri dalam satu ruangan terpisah di area kebun samping rumah Alta. Ramdan dan Dedy muncul beberapa saat kemudian.
"Dana mana?" Gesang menghisap rokoknya kuat-kuat. Dia luar biasa murka.
"Pacaran. Kayak nggak tahu dia aje lo."
"Gue serius Ren, sekali lagi lo nggak ngerti gue kasih tahu..." Gesang menatap Garen tajam. Dia bingung bagaimana melanjutkan kalimatnya. Mau mengeluarkan Garen dari kelompoknya? Nggak mungkin. Garen adalah salah satu dari pilar utama kelompok ini. Dia paham benar itu. Rokoknya dia hisap dalam-dalam lagi.
"Apa?" Garen terkekeh.
Yang lainnya hanya menatap saja. Ramdan angkat bicara.
"Reng, bener juga kata Gesang. Lo nggak bisa lawan tiga orang sendirian." Ramdan berjalan mendekati meja untuk mengambil rokok dalam bungkusnya.
"Sejak kapan lo jadi banci?" Ujar Garen kesal.
Boy yang sibuk mengutak-atik ponsel lalu berujar. "Videonya, udah ada aja. Sial, jaman sekarang parah banget."
Dedy dan Alta mendekati Boy lalu melihat video perkelahian Bowo-Gareng bersama. "Parah Reng. Lo keren banget. Bowo jatuh coba."
Ramdan jadi penasaran. "Mana sini lihat." Ponsel diberikan ke Ramdan. Dia menggeleng tidak percaya tapi tersenyum juga.
"Jadi lo beneran serius di dojo?" Ujar Ramdan menatap Garen heran.
Gesang mendengus kesal. Dia masih duduk merokok. Dia paham benar kemampuan bertarung Garen sudah meningkat karena tiada hari tanpa pergi ke dojo sialan itu. Garen bahkan terkadang menginap disana.
"Heh heh, biasa aja kali. Ntar, kalo bokap gue udah bisa gue usir atau matiin baru lo semua bisa bilang gue keren."
"Jangan gede kepala karena hari ini lo masih punya kepala. Gue paham dia kejar lo, tapi gue nggak paham kenapa lo nggak tunggu gue." Gesang emosi lagi.
"Tunggu? Ngumpet kayak banci maksud lo? Jadi lo doang yang boleh senang-senang?"
"Lo paham nggak kalau ini semua bukan senang-senang? Sekolah kita diserang. Mamet bocor palanya. Polisi bisa tangkep kita semua. Lo pikir gue senang-senang?" Gesang sudah berdiri dari duduknya sambil berteriak pada manusia jadi-jadian didepannya ini.
"Heh, lo pikir gue seneng beneran hah? Kalau gue nungguin lo dan nggak nyerang duluan, Mamet mati. Paham nggak?" Garen sudah mendorong tubuh Gesang.
Ramdan dan Boy sudah maju berusaha menenangkan keduanya.
"Hahhhhh." Gesang menendang meja kayu melampiaskan kekesalannya. Ponselnya berbunyi.
"Ya Ki?" Suaranya berusaha ditenang-tenangkan. Dahinya mengernyit mendengar suara diseberang sana. "Nih, Liki." Ponselnya diberikan ke Garen.
Garen mengangkat ponsel itu. Senyumnya terbit lalu dia tertawa kecil. "Gue nggak apa-apa. Tenang aja."
"Sekali lagi lo berantem begitu, gue nggak mau bilang apapun lagi ke elo. Gue serius Nagareeeen!!! Lo bikin gue jantungan gilaaa." Kaliki sudah setengah berteriak diseberang sana. Gadis imut dan manis itu sudah melihat rekaman video perkelahian Bowo-Garen di ponselnya. Lalu langsung menghubungi Gesang karena tahu Garen pasti berada bersamanya.
Garen terkekeh lagi. "Iya iya. Biasa aja dong. Nggak usah pake nangis. Kan gue nggak apa-apa. Nih gue oper ke laki lo lagi ya." Lalu dia menyerahkan ponsel itu ke Gesang.
"Diem disitu dulu. Aku kesana sebentar lagi." Ujar Gesang pada Kaliki.
Mereka kembali duduk. Emosi sudah mereda. Gesang mulai membuka suara.
"Boy, cek Mamet. Gimana kondisinya sekarang? Telpon si Aryan. Dai (Ramdan dipanggil Badai). Lo kasih tahu Dana. Biar siap-siap. Sekalian kasih tahu Malik."
"Perlu ngelibatin angkatan bawah?"
"Semua. Semua harus siap." Gesang menyalakan rokok lagi.
"Hanya siap-siap. Bukan buat nyerang lagi kan?" Garen bertanya. "Apa kita masih mau senang-senang?"
Gesang menggelengkan kepalanya kesal melihat senyum miring Garen.
"Gue yang maju. Bowo cuma mau gue."
"Jadi rencana lo kita disuruh nunggu disini sementara lo kesana?" Garen menggeleng tidak percaya. "Gue paham lo nggak pinter matematika, tapi strategi konyol kayak gitu lo baca dimana?"
"One on one sama Bowo. Gue dan dia aja. Biar selesai. Lagian rasanya abis hantem Ikhsan si bloon konyol itu masih belum puas gue kalau belum lihat abangnya bonyok."
"One on one kayak hari ini? Basket aja adanya three on three Ge. Lo pikir ada tuh yang namanya petarungan adil, yang kalau salah satu kalah lainnya bisa terima? Kagak bakalan ada Ge. Bullshit itu cuma di TV. Tawuran mah tawuran aja. Lo kira kita prajurit Roma bertarung pakai kehormatan." Protes Garen keras.
"Bener juga Sang. Lo lihat tu di video. Bowo udah jatoh eh si curut pada maju ngeroyok Gareng." Ujar Ramdan. "Lo cari mati beneran."
Gesang menghembuskan asap rokoknya.
"Gue ikut. Lo tinggal gue, gue bilang ke Liki lo dimana?"
"Najis tukang ngadu." Ujar Gesang.
Garen tersenyum konyol. "Jadi?"
Gesang memilih mengabaikan Garen lalu wajahnya menatap Boy. "Boy, kabarin Bowo. Dua hari lagi, kita ketemu."
"Dimana Bos?"
"Di bioskop dalem mall."
"Daelah gitu aja ngambek si Bos."
"Ntar, gue pikirin dulu. Bilang sama dia, suruh bawa tuh si bloon Ikhsan adeknya." Kepala Gesang sudah menoleh ke arah Garen dan menatapnya tajam. "Dan lo, gue nggak mau lo kelepasan. Atau lo ngeladenin kroyokan kayak tadi." Gesang sudah berdiri.
"Kenapa sih lo ribut banget? Kayak cewek lo."
"Karena kalo lo sampe kenapa-napa, gue bisa bunuh orang beneran." Gesang mematikan rokoknya lalu beranjak pergi.
Garen sudah ingin menyahut lalu kepala Ramdan menggeleng. "Reng, beneran. Gesang lagi emosi berat. Jangan ganggu dulu."
"Bang** lo semua. Lo pikir gue banci apa?" Kali ini Garen yang menendang meja lalu keluar dari ruangan itu juga.
Ramdan hanya menggelengkan kepalanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bad Boys
RandomIni kisahnya Nagaren, Gesang dan Aryan. Tiga sahabat yang tidak terpisahkan. Juga ditambah dengan anggota Bad Boys lainnya. Jalinan kuat persahabatan yang diwarnai dengan rahasia-rahasia, tentang cinta, tentang luka, tentang apa arti pengorbanan, te...