Part 22 - Hujan dan kamu

426 81 11
                                    

"Yan...bangun." Tangan Garen mengguncang tubuh Aryan perlahan. "Lo keringetan, jadi harus bangun."

Mata Aryan mengerjap perlahan. Kepalanya sedikit pusing. Selama beberapa saat dia berusaha mengembalikan kesadarannya. Ada Garen di kamarnya, itu sudah jelas. Tapi sejak kapan? Ketika dia ingat apa yang terjadi tadi dia langsung berdehem. Tubuhnya sudah duduk namun masih di atas kasur.

"Jam berapa?"

"Udah siang. Ganti baju Yan. Baju lo basah, mungkin karena tadi demam terus turun kali." Tangan Garen menyentuh dahi Aryan. "Iya nih lo udah nggak demam."

"Kok gelap?"

"Hujan diluar. Ganti baju gih terus makan siang. Mba Tati udah siapin di meja makan."

"Lo udah makan?" Dia mulai beranjak berdiri.

"Udah barusan. Sana ganti dan makan. Nggak usah mandi, lo kan masih demam."

"Tumben." Aryan berjalan ke arah lemari pakaian.

"Tumben apa?"

'Tumben lo perhatian.' Kata-katanya itu dia simpan dalam hati. Dia tidak mau memicu kejadian aneh lagi dengan Garen. Jadi Aryan hanya tersenyum sambil melepas kausnya dan menggantinya dengan yang baru. Dia sadar Garen mengalihkan pandangannya dan langsung menekuri laptopnya lagi.

"Gue makan dulu. Belum selesai itu?"

"Udah dikit lagi."

Aryan keluar dari kamar. Dia memang tidak suka makan di dalam kamar, karena itu membuat kamarnya bau dan sisa makanan bisa mengundang seranggga. Kecuali sarapan tadi pagi memang.

"Mba, Mama dan Lila mana?" Dia bertanya pada Mba Tati yang sedang membereskan dapur bersih rumah mereka.

"Barusan aja pergi Mas. Tadi habis makan siang sama Mba Garen langsung pergi antar Non Lila les piano. Mama pesan jangan lupa minum obatnya. Beliau pulang malam karena langsung jemput Papa nya Mas di hotel."

Aryan baru ingat kalau Papanya memang sedang ada pertemuan di salah satu hotel di Jakarta. Papanya itu memang selalu minta dijemput Mama, entah apa alasannya. Perilaku Papa dan Mamanya dirumah juga terlampau mesra menurut Aryan. Terkadang membuat Aryan jengah sendiri.

Dia makan dalam diam, ingatannya berputar lagi pada apa yang terjadi pagi tadi. Sikap Garen memang sedikit aneh. Tapi dia tidak berani menyimpulkan sesuatu atas asumsinya sendiri. Dia tidak ingin berharap apapun, karena takut kecewa. Ponselnya berdenting.

Diana: Aryan, kamu tipes ya? Aku baru tahu dari Gesang. Kamu nggak apa-apa?

Aryan selalu tidak mengerti untuk apa orang bertanya basa-basi seperti ini. Mungkin karena dia terbiasa dengan Garen yang selalu straight to the point dan tidak bertele-tele. Jadi dia mengabaikan pesan itu.

Diana: Maafin aku. Ini gara-gara kamu bantuin aku dan kecapekan. Kamu mau aku bawain apa?

Setelah lima menit.

Diana: Aryan kok nggak dibales? Aku feeling guilty nih. Aku kesana ya.

Aryan: Nggak perlu. Gue nggak apa-apa, sudah sehat.

Dia tidak suka jenis perhatian ini, kecuali dari Garen pastinya.

Diana: Bohong. Aku tetap ke tempat kamu.

Aryan menggelengkan kepalanya kesal. 'Dasar cewek, otaknya aneh. Dijawab baik-baik malah maksa.'

Setelah selesai dia kembali ke kamar. Hujan masih mengguyur deras di luar. Ketika dia masuk, dia mendapati Garen sedang berdiri sambil menatap kearah luar jendela besar di kamarnya.

Bad BoysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang