Part 13 - Banjir

427 67 14
                                    

Alarm itu datang pagi-pagi. Bukan, bukan jam weker keren yang duduk di nakas sebelah tempat tidur, tapi cubitan kesal Ibunya pada paha dan kakinya. Ditambah pukulan sapu lidi lagi-lagi ke kakinya.

"Bangun nggak lo. Cepetan. Mandiin adek lo. Molor aja kerjaan."

"Ya elah Mak. Baru tidur jam empat abis gorengin pisang, udah disuruh bangun aje."

"Heh, rajin pangkal kaya. Lu gimane mau kaya kalau kagak rajin. Ayok bangun. Si entong udah bangun tuh nungguin lo mau mandi."

"Suruh mandi sendiri."

"Enak aje mau jadi kakak nggak tanggung jawab."

"Lah, Emak same Bapak yang bikin napa aye yang suruh tanggung jawab?"

"Eeeh...gue sirem pake aer cucian piring nih. Cepet bangun."

Yah, begitulah dia memulai hari didalam rumah tiga petak ini. Dia menempati satu kamar dengan adiknya Tono. Privasi? Jangan harap. Sudah dari kecil dia tidak tahu rasanya tidak berbagi apapun dalam hidupnya. Karena bahkan celana dalamnya saja saat ini sudah lungsur ke adiknya.

Dengan malas dia berdiri sambil menggaruk kepalanya. Tangan kecil adiknya sudah menarik celana pendeknya yang kusam. Mata adiknya itu bilang dia ingin dimandikan. Setelah selesai memandikan Tono dan dirinya sendiri, dia langsung bersiap ke sekolah.

Wajahnya mengernyit heran melihat Ibunya memisahkan satu kotak pisang. tempe, bakwan goreng dan lontong isi dan meletakkannya ke dalam kantong kresek putih.

"Buat siapa Mak? Buat aye? Asiiik, dibekelin."

"Enak aje lo. Buat Garen, dia masih di rumah sakit kan?"

Mulutnya bungkam. Raut wajahnya berubah seketika. Terkadang karena kesibukannya membantu mencari nafkah sebagai anak pertama, dia lupa dengan hal-hal penting yang terjadi di sekitarnya.

"Mak, Garen masih belum bangun. Belum bisa makan gituan."

"Ya buat Ibunya Garen kalau gitu. Pasti dia nungguin kan. Bilangin, salam dari Emak, maap belom bisa nengok kesane. Emak sibuk sana-sini." Ibunya itu berujar masih sambil terus mondar-mandir di dapur.

"Emak doain, anak baik kayak Garen mah, insya allah diangkat penyakitnye. Die baek banget sama kite kan? Temen-temen lo emang pada baek semua."

Dia masih diam, lalu mendengar suara Ramdan di luar.

"Assalamualaikum."

"Wa'alaikumsalam. Dai, masuk bentaran. Si Tono masih makan." Matanya melirik adiknya yang masih mengunyah nasi dan telor ceplok pakai kecap di ruang depan.

"Garen gimana? Lo kesana kemarin?" Tanyanya pada Ramdan. Kawan baiknya itu langsung menundukkan kepala.

"Kata Gesang, semalam Garen demam tinggi lagi, terus kejang."

Tubuhnya dia dudukkan di kursi depan. Ini sudah lewat tiga hari, tapi kawannya itu belum bangun juga. "Terus gimana Dai?" Dadanya mulai sesak, sedih sekali.

"Kita nengok ya hari ini?"

"Iya iya. Gue kesana kok. Tapi emang kita udah boleh masuk? Inget nggak baru Alta yang berhasil ketemu Garen. Abis itu Garen drop lagi."

"Iya, Liki kemarin juga cuma lihat di kaca doang. Terus udah mau pingsan. Liki nangis terus."

"Dai, gue juga mau nangis rasanya. Beneran deh. Katain deh gue cengeng, tapi kalau inget tu cewek aneh bin ajaib yang baek banget sama kita. Duh, beneran sedih gue."

Mereka diam saja sambil menundukkan kepala.

***

"Ded, pisang goreng nyokap mana? Kan gue pesen kemaren." Garen menepuk pundak Dedi di kelas pagi itu.

Bad BoysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang