Part 3 - Benci

622 78 0
                                    

Aryan memacu motornya kencang. Mamet sudah dia antarkan pulang sementara dia khawatir pada sahabatnya itu dan berdoa dia masih ada ditempat yang sama. Dua puluh menit kemudian Aryan sampai. Base camp-nya itu sudah sepi. Sudah jam sembilan malam. Aryan sudah turun dari motor lalu menghubungi Alta dari ponselnya.

"Ta?"

"Nape?"

"Dimana?"

"Siapa?"

"Dia."

"Masih disitu. Ngerjain PR katanya."

"Lo dimana?"

"Main PS di dalem."

"Yang lain?"

"Udah pada balik setengah jam-an lah. Gesang ntar kesini lagi mau nganterin dia pulang."

Aryan mendesah perlahan.

"Dia abis ribut ama Gesang tadi siang. Ati-ati."

Aryan diam saja.

Kali ini Alta yang mendesah perlahan. "Gue ngerti sih. Gue juga napsu banget sama si ba*i itu. Orang gila bisa ngroyok Gareng begitu. Tapi lo lihat videonya kan? Kereeen...sumpah keren. Agak sakit sih sebenernya. Gila dia nggak ada takutnya. Ya emang Gareng nggak pernah takut sih. Lo inget Bara dulu kan? Si ketua OSIS yang sok itu, yang ngancurin bangku depan dia terus malah ditonjok." Alta terkekeh geli.

Alta meneruskan. "Tapi kali ini beda Yan. Ini bahaya beneran. Kita nggak pernah diserang abis-abisan kayak gini. Mamet berdarah-darah gitu lagi. Dan Nagaren, luar biasa hari ini. Salut."

"Lo sama sakitnya." Aryan sudah memijit pelipisnya.

"Nggak ada yang bisa bilangin dia Yan. Kita udah coba kan. Sepanjang masa SMA ini. Dia nggak pernah dengerin kita."

Aryan menelan salivanya. Apa yang Alta bilang benar. Garen tidak pernah mendengarkan siapapun. Tanpa terkecuali bahkan dengan sejuta ancaman.

"Lo sini aja masuk kamar gue. Temenin gue main PS."

"Gesang dateng. Udah dulu." Aryan mematikan ponselnya. Sedan silver itu berhenti didepan rumah Alta dan Aryan sudah menghampiri Gesang yang keluar dari mobil.

"Yan. Mamet nggak apa-apa?" Mereka berjabat tangan khas mereka.

"Baik. Cuma feeling guilty bikin Garen dikeroyok begitu." Dia menyenderkan tubuhnya di pintu mobil yang sudah tertutup.

Gesang menatap wajah sahabatnya yang kusut. Paham benar apa yang ada di kepala Aryan saat ini. "Gue udah coba bilangin Yan. Lo tahu dia kan?" Gesang berujar.

"Iya, Alta udah cerita. Begonya gue telat lagi." Aryan mengumpat kasar. "Liki gimana?"

"Marah-marah nggak jelas. Disangkain gue yang bikin Garen begitu. Apalagi videonya ada dimana-mana."

Aryan berdecak kesal. "Pak Rahmat, besok..." Aryan menghela nafasnya. Paham benar konsekuensi yang akan diterima Garen besok di sekolah.

"Tenang lah. Dia kan punya lucky charm. Otaknya encer." Gesang menunjuk kepalanya sendiri. "Lo tahu dia selalu lolos karena itu kan?"

"Itu kalau kasus tawuran biasa gila. Yang ini beda. Dia masuk kawasan orang lain lagi. Haduuuh."

"Kita yang maju lah. Bantuin dia."

"Dan tambah runyam urusannya."

Gesang terkekeh geli. "Udah berapa tahun kita begini? Bentar lagi lulus, ini tahun terakhir."

Aryan mau tidak mau tersenyum juga. Mengingat persahabatan mereka dari jaman putih biru. Gesang sudah menepuk pundaknya.

"Rokok?"

Aryan menggeleng, dia sedang tidak ingin karena masih khawatir.

"Jadi, mau sampai kapan disimpen sendiri?" Gesang sudah menghisap lagi rokoknya dalam. "Waktu itu jalannya maju, nggak mundur Yan."

Helaan nafas berat sudah keluar lagi. Dia hanya menggendikkan bahunya.

"Lo anter dia pulang. Gue balik dulu. Sekalian lo omongin lagi soal Bowo tadi. Gue nggak suka dia turun langsung. Dua hari lagi, gue bakal bikin Bowo jilat sepatu gue. Dan gue nggak suka kalau dia ada dan lihat apa yang bisa gue lakuin."

Aryan tersenyum miris sambil menggelengkan kepalanya. "Elo aja nggak didengerin, apalagi gue."

"Coba dulu sana." Gesang beranjak masuk ke dalam mobil. Tak berapa lama, dia meninggalkan tempat itu.

***

Tangannya mengetuk pintu perlahan. "Permisi."

Garen mengangkat kepalanya sesaat. Tangannya berhenti mengetik sejenak. Laptop Alta memang selalu dia pinjam untuk mengerjakan tugas sekolah.

"Gimana Mamet?"

"Baik. Kirim salam sama elo. Say sorry, dia feeling guilty." Aryan sudah duduk di bangku sebelah Garen. Tubuhnya dia senderkan sementara matanya menatap punggung Garen yang sedikit menunduk karena masih mengerjakan tugas sekolah.

"Ck hissss. Males gue dengernya. Bilangin sama Mamet jangan cengeng."

"Belum selesai?"

"Udah. Lagi ngerjain punya Gege." Garen tidak menghentikan pekerjaannya.

"Dia yang minta?"

"Nggak. Iseng aja. Lo ada tugas?"

Aryan diam sejenak. "Ru...pulang?"

Bahu Garen menegang. "Lo panggil gue apa?"

Aryan memilih mengabaikan nada kesal Garen. Satu tangannya menyentuh punggung Garen perlahan. "Sakit nggak?"

"Jangan pegang-pegang gue an**r. Gue bukan banci yang baru kena pukul dikit mewek." Tangannya sudah menepis tangan Aryan.

"Pulang yuk."

"Lo aja sana pulang. Ngapain ngurusin gue."

"Gue telpon Gege." Aryan mengambil ponselnya disaku celana.

"Pengaduan. Telpon sana. Emang gue takut apa?"

Lalu decakan kesal sudah terdengar. Aryan meletakkan ponselnya di meja dekat dengan laptop yang sedang digunakan Garen. "Ya udah, gue temenin."

Garen menyimpan dokumen tugas itu di laptop lalu menutupnya. Tubuhnya juga sudah bersandar ke sandaran kursi. Ruangan berukuran sedang itu sederhana dan berantakan. Hanya ada satu bangku kayu panjang dan satu lagi yang kecil. Juga meja panjang yang kondisinya sedikit mengenaskan.

Bahu mereka bersentuhan. Aryan menolehkan wajahnya pada Garen disebelahnya yang hanya menatap lurus saja. Mengamati lekuk wajah itu atau bagaimana matanya sesekali bergerak-gerak. Mencoba menebak apa yang ada dipikirannya sekalipun tahu usahanya akan sia-sia.

"Gue benci kalian berdua. Serius."

Aryan diam saja. Garen juga tidak melanjutkan kalimatnya sekalipun Aryan paham benar apa yang Garen benci. Sosok disebelahnya ini tidak suka dikasihani, dibela, atau dilindungi. Dia ingin berdiri sendiri. Dianggap sama kuat, sama berani. Dan ya, Garen bahkan lebih berani dari beberapa kawan di kelompoknya. Semua orang tahu itu. Yang lebih mengerikannya, Aryan paham benar bahwa Garen juga tidak takut mati. Sahabatnya itu, tidak perduli.

Bad BoysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang