Garen bangun pagi-pagi sekali. Ibunya masih tidur. Dia selalu tidak paham kenapa ibunya tahan didera sedemikian rupa. Karena ibu masih muda, sehat, bahkan menurut Garen wajah ibunya cantik. Sayang wajahnya sendiri serupa dengan ayahnya, si pengecut tukang siksa. Jika dia mengingat apa yang terjadi semalam tangannya terkepal lagi.
Lalu dia baru sadar bahwa masih ada Aryan disana. Tidur di sofa satu dudukan yang tidak menampung tinggi badannya. Tubuh Garen sudah bersandar di sofa. Memperhatikan sahabatnya itu.
Aryan Diputra. Mereka bertemu saat masih berseragam putih biru. Aryan pribadi yang introvert, pendiam, tidak banyak bicara. Dia banyak tertawa setelah SMA seiring bertambahnya anggota kelompok mereka. Sekalipun jarang terjadi, senyum lebar Aryan sungguh menarik minat banyak perempuan di sekolahnya. Wajar saja, Aryan datang dari keluarga mampu. Wajahnya pun menarik. Sekalipun memang bukan tandingan Dana, Randana.
Sahabatnya itu juga sangat perhatian padanya. Aryan memperhatikan hal-hal kecil seperti membelikan satu set kotak pensil atau seperti semalam, Aryan bahkan membawakan tas yang berisi baju untuk Garen. Paham benar baju itu pasti baju adik perempuannya Lila yang berukuran sama dengan Garen. Keluarga Aryan juga hangat. Ayah, Ibu, adik dan kakak perempuan Aryan semua dekat dengan Garen. Mereka sudah menganggap Garen saudara. Jadi Garen menyayangi Aryan, sama seperti dia menyayangi Gesang.
Kepalanya sudah dia rebahkan lagi di bantal sofa. Matanya masih menatap wajah sahabatnya itu. Bibirnya tersenyum mengingat Aryan yang lepas kendali dengan Dana. Saat cowok menyebalkan itu mencium pipi Garen pada saat dia sedang tidur di warung sore dulu. Lalu mereka bergumul seru. Sementara dia sendiri tidak terbangun dan terus tidur. Sampai ketika Gesang berteriak untuk memisahkan mereka. Ya, Dana memang usil dan menyebalkan. Bagusnya Gesang kali itu tidak kelepasan.
Suster datang mengetuk pintu.
"Cek tensi dulu ya."
"Ibu saya masih tidur Sus. Apa bisa tunggu beliau bangun?" Garen sudah duduk tegak di sofa.
Suster tersenyum dan mengangguk mengerti. Setelah pintu tertutup Aryan terbangun.
"Kenapa nggak pulang Yan?"
Dia mengerjapkan matanya sambil kedua tangan mengusap wajahnya. Lalu dia tersenyum, senyum yang ditunggu-tunggu sebagian perempuan di sekolahnya. "Ketiduran. Lo udah bangun dari tadi?"
"Baru." Garen berbohong. "Pulang gih sana. Bilang sama Pak Rakhmat gue nggak bisa masuk dulu hari ini."
Aryan menyandarkan tubuhnya sambil melihat jam ditangan. Pukul 6.30. Dia tidak suka meninggalkan Garen sendiri disini. Tapi dia tahu Gesang membutuhkannya hari ini. Lagipula, mungkin sebentar lagi Gesang akan datang.
"Gue balik. Telpon gue ya. Jangan lupa lo harus ke Tante Saras kalau dia udah dateng."
"Bawel." Garen bersungut kesal. "Gue nyusul nanti siang. Jam 3 kan?"
"Nggak perlu Ru. Please."
Garen mendengus kesal. "Kayak gue perduli."
"Ru..." Suara ibunya yang terbangun. Tubuh Garen langsung berdiri mendekati ibunya.
"Saya pulang dulu Tante. Masuk jam 7." Tubuh Aryan sudah berdiri dari sofa. Tangannya sudah menenteng jaket motornya.
Rinda tersenyum. "Iya, terimakasih ya Yan."
"Papa dan Mama sore ini kesini. Bantu urus kasus Tante."
"Tante selalu ngerepotin ya Yan?"
Aryan tersenyum, "Tante dan Ndaru sudah seperti keluarga kami. Jadi tidak ada yang direpotkan. Cepat sehat ya Tante."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bad Boys
RandomIni kisahnya Nagaren, Gesang dan Aryan. Tiga sahabat yang tidak terpisahkan. Juga ditambah dengan anggota Bad Boys lainnya. Jalinan kuat persahabatan yang diwarnai dengan rahasia-rahasia, tentang cinta, tentang luka, tentang apa arti pengorbanan, te...