Part 34 - Hanya itu saja (Epilog)

1.5K 141 55
                                    

Bertahun-tahun kemudian

"Dok, jadi gimana? Pasien-pasien korban kebakaran terlalu penuh di IGD dan akhirnya harus kita taruh di lorong-lorong. Sementara mobil ambulance masih bolak-balik ke lokasi kejadian, jadi pasien masih akan bertambah. Kita kewalahan."

Dia melihat Dokter muda dihadapannya yang terlihat sedikit panik. Malam ini memang dia adalah satu-satunya dokter senior yang tersisa. Salahkan pada kemacetan kota konyol ini. Jam prakteknya jadi mulai terlambat. Dia memang mengambil dua jadwal praktek. Satu di Medika Global atau MG, rumah sakit swasta besar milik keluarga Gesang dan satu lagi di rumah sakit umum yang dikelola pemerintah. Rumah sakit umum ini sungguh banyak membutuhkan tenaga ahli.

"Berapa jarak dari tempat kebakaran ke MG hospital." Dia mulai melangkah tergesa.

"Sebenarnya di tengah-tengah. Tapi rumah sakit swasta itu tidak mungkin mau menerima pasien umum begini."

"Siapa bilang?"

"Biasanya begitu Dok."

"Satu-satu, kamu telpon Dokter Pram. Bilang kita butuh bantuan disini. Saya telpon MG agar korban yang baru menuju kesini agar mengarah ke MG."

"Tapi Dok..."

"Loh tapi apalagi? Kamu mau yang telpon MG?"

"Ini sudah malam, Dokter Pram apa masih bisa diganggu?"

Aryan menatap Dokter laki-laki itu sebal. "Okelah, saya telpon dua-duanya. Kamu cek kondisi pasien dan yang lebih parah kondisinya pindahkan ke IGD. Saya yang telpon Dokter Pram dan MG."

Dokter itu mengangguk.

"Kamu ngerti artinya 'lebih parah' kan? Run the code, okey?" Matanya sudah mengawasi Dokter muda itu berlari pergi.

Tangannya mengangkat ponsel. Dokter Saras, Mama dari sahabatnya Gesang dan juga pemilik MG Hospital. Dia menjelaskan situasinya saat ini. Dokter Saras langsung mengerti dan berjanji untuk membantu. Kemudian Dokter Pram. Dokter senior itu juga sama sepertinya. Praktek di dua rumah sakit yang sama sepertinya. Sebenarnya, sedikitnya dia mengikuti jejak beliau. Karena Dokter Pram bilang, jika kita hanya mengurus orang kaya saja, maka kita belum menjadi dokter yang sesungguhnya. Tantangan justru datang dari rumah sakit-rumah sakit umum seperti ini.

Setelah selesai memberi kabar pada orang-orang penting itu. Dia berhenti sejenak untuk menelpon istrinya.

"Ru, aku nggak pulang malam ini."

"Kebakaran ya Yan? Aku lihat beritanya di TV. Besar banget Yan. Semoga nggak ada korban jiwa ya."

"Iya. Mereka butuh aku. Aku sedang panggil tim dokter lainnya untuk bantu. Kamu nggak apa-apa kan?"

"Kalau kamu berani pulang, aku timpuk pake panci biar balik lagi. Jangan pulang Yan. Tolong mereka, sebanyak-banyaknya. Nanti abis itu aku pijitin deh."

Aryan tertawa. Andaru selalu mengerti dan tidak pernah mengeluh sama sekali. Itu yang membuatnya selalu tergila-gila. "Okey. I love you. See you."

Malam ini akan panjang.

***

Seminggu kemudian.

Aryan menjemputnya pulang dari acara reuni kampusnya dulu. Dan seperti biasa, Aryan terkadang memilih mengendarai motornya. Alasannya dua, pertama karena dia ingin menghindari kemacetan Jakarta. Dan kedua karena dia selalu suka dipeluk oleh istrinya itu dari belakang. Tapi sepertinya, malam ini akan jadi berbeda.

Bahkan sogokan bakso langganan mereka tidak membuat Aryan tersenyum. Mantan pacarnya itu masih marah dan kesal sekali. Alasan-nya? Karena Bimo. Ya, si adik kecil itu sudah bukan adik lagi. Tapi laki-laki gagah teman satu kampusnya dulu dan juga satu jurusan. Mereka bahkan hampir saja bekerja di perusahaan yang sama. Aryan marah dan kesal karena melihat perilaku Bimo yang masih saja seperti dulu. Terlalu perhatian menurut Aryan. Padahal menurutnya sendiri, wajar-wajar saja.

Bad BoysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang