Jisoo meregangkan otot-ototnya setelah melahap habis buku yang ia pegang sekarang, kelasnya sedang mendapatkan jam pelajaran kosong maka dari itu ia memanfaatkan waktunya untuk membaca, guna menambah kepercayaan dirinya untuk mengahadapi ujian akhir nanti.
"Ini makanlah, Ji." Jisoo menoleh kesumber suara dan tersenyum meraih sebungkus roti serta sekotak susu pemberian Jinyoung yang tiba-tiba duduk di depan mejanya.
Jinyoung teman sekelasnya yang pernah menyatakan perasaan padanya namun ia tolak.
Walai Jisoo telah menolaknya lelaki itu tetap konsisten memberi perhatian kecil padanya, tidak seperti kebanyakan laki-laki yang telah menyatakan cinta padanya setelah ditolak mereka akan menghilang detik itu juga.
"Makasih, young." Pemuda itu hanya tersenyum lalu pamit dari hadapan Jisoo.
Jinyoung bukan satu-satunya anak lelaki di sekolah yang menyatakan cinta padanya, jika dihitung pun Jisoo tidak tau seberapa banyak, namun tak satupun yang mampu merobohkan dinding pertahanan yang telah ia bangun sejak lama.
Fokusnya hanyalah untuk menjaga adik-adiknya serta membanggakan orang tuanya dengan segala prestasi yang ia punya.
Ia sangat ingin orang tuanya yang selama ini menjadi panutannya merasa bahagia terlebih Papanya sendiri.
Maka dari itu ia tidak sedikitpun berfikiran untuk memiliki kisah percintaan yang selama ini sering teman-temannya bicarakan akan terjadi dihidupnya untuk sekarang. Ia tak ingin fokusnya terbagi.
Pada akhirnya Jisoo memutuskan untuk keluar juga karna setelah jam kosong ini adalah istirahat yang tinggal beberapa menit lagi. Jisoo melangkahkan kakinya ke kelas Lisa berniat menghampiri adiknya itu dulu baru nanti mereka menjemput Chaeyoung.
Mereka telah berbaikan secara tak langsung karna Jisoo ataupun Jennie tak ada yang mengatakan maaf dan sejenisnya, semuanya hanya berjalan begitu saja karna saat mereka kembali menjalani aktivitas seperti biasa tak ada yang menyinggung masalah tersebut meski pada awalnya terjadi kecanggungan.
.
.Jennie menggerutu selama diperjalanan ketika ia mengantar buku-buku tugas milik sekelasnya, ingin sekali rasanya ia melemparkan semua buku-buku ke depan wajah gurunya yang tega sekali menyuruhnya sendirian untuk mengantarkannya ke meja milik gurunya tersebut dimana jarak kelasnya dengan ruang guru itu termasuk jauh.
Memang beratnya tak seberapa tapi tetap saja Jennie kesal tangannya menajdi pegal seketika.
Setelah selesai dan keluar dari ruangannya Jennie secara tak sengaja bertemu dengan Irene yang selalu berwajah dingin.
Jennie tersenyum dan mengangguk sopan ketika mereka berpapasan bagaimanapun Irene adalah kakak kelasnya.
"Oh ya, kau kakak dari Chaeyoung kan?" Jennie menghentikan langkahnya dan segera berbalik setelah mendegar perkataan Irene.
"Aku tadi tak sengaja melihat Chaeyoung berdebat dengan beberapa orang kearah halaman belakang." Tanpa menunggu jawaban dari Jennie, Irene melanjutkan langkahnya karna Jennie juga sama sekali tidak mengeluarkan sepatah kata apapun.
Selanjutnya yang memenuhi pendengarannya adalah suara langkah kaki yang terburu-buru dan semakin menghilang.
Dengan nafas yang sedikit memburu, Jennie sampai pada halaman belakang sekolahnya. Meski sudah beberapa tahun bersekolah disini. Ia sangat jarang mampir kesini, karna memang tempat ini tidak ada menariknya sama sekali dan sangat jarang disinggahi oleh para murid sekolahnya.
Benar saja, ia mendapati adiknya itu tengah duduk dibangku yang sudah berkarat sedang menundukkuan kepalanya. Tanpa menunggu lama ia segera menghampiri adiknya itu.
Tepukan dibahunya membuat Chaeyoung terlonjak kaget belum lagi ia melihat kakak keduanya tersebut tengah menatapnya dengan mata kucing andalannya yang tajam.
"Aku akan mendengarkanmu." Singkat dan padat membuat Chaeyoung tidak tau harus berbuat apa. Ini sama sekali diluar akalnya.
Kriingg
Seakan menjadi penyelamatnya Chaeyoung menghela nafas lega, "Aku akan menjelaskannya di rumah nanti, kita harus segera pergi dari sini nanti Lisa mencariku." Chaeyoung bangkit dari duduknya, dengan menahan segala sakit di area perutnya.
"Ceritakan sekarang. Aku sudah menghubunginya untuk tidak menjemputmu karna kau sedang bersamaku sekarang." Chaeyoung menoleh pada kakaknya tersebut yang baru saja mengantungi handphone miliknya ke saku seragam sekolah.
Ternyata bel istirahat tidak jadi menjadi penyelamatnya.
Chaeyoung kembali duduk, merasakan kematian semakin mendekat padanya.
"Ba-bagaimana kakak bisa tau aku ada disini?" Tanyanya penasaran karna hal ini begitu tiba-tiba.
"Apa susahnya menjawab pertanyaanku dahulu Rosie?" Chaeyoung tidak suka melihat Jennie berubah menjadi semenakutkan ini.
Jennie mengalah, ketika didapati adiknya itu tengah terdiam menunduk dengan kepalan tangan yang membuat buku-buku jarinya memutih.
"Hey, dengarkan aku. Aku tidak bermaksud membentakmu, aku hanya khawatir Rosie." Jennie meraih tangan adiknya, membuka kepalan tangannya dan mengusapnya lembut.
Ia tak ingin adiknya itu kembali terluka.
"Aku mempercayaimu, katakan lah sesuatu." Tetap tak mendapati jawaban, Jennie memgontrol emosinya sebisa mungkin.
"Baiklah, aku tau karna aku tidak sengaja bertemu dengan Kak Irene tadi dan ia mengatakan kau tengah berdebat dengan seseorang dan berakhir disini." Chaeyoung mengehela nafasnya setelah mendengar penjelasan kakanya, dan merasa pusing dengan sandiwaranya sendiri namun ia juga tak ingin ini semua terkuak dan menyakiti kakak-kakaknya tersebut.
"Itu tadi hanya perdebatan soal materi presentasi, hanya saja temanku masih tidak terima dengan keputusan final yang telah ditetapkan sehingga ketika aku ke kamar mandi pun terus diikuti dan aku juga sama memaksanya dengan dia maka terlihat seperti berdebat tapi sekarang semua sudah selesai. Aku kesini hanya ingin saja karna kami juga sedang jam kosong dan bermaksud ketika bel istirahat nanti akan menemui Lisa dan ke kantin bersama." Jawaban Chaeyoung yang lancar serta matanya yang meyakinkan ketika bercerita membuat Jennie terdiam.
Jennie sedikit ragu, bagaimanapun ia tau adiknya itu pernah berbohong dan ia kecolongan dengan fakta yang sebenarnya, meskipun ia telah berkata akan mempercayainya tetap saja rasa ragu itu menelusup sedikit.
"Aku sudah tau kalau Kakak tidak akan percaya padaku." Jennie refleks menggeleng.
"Tidak. Aku percaya padamu."
"Tapi kau diam kak, menegaskan bahwa perkataanku barusan hanyah sebuah omong kosong bagimu." Chaeyoung frustasi sendiri bagaimana bisa ia bersandiwara dengan hebat begini.
"Lihatlah, jikapun aku berkelahi pasti setidaknya lukaku akan bertambah parah. Kau bisa lihatkan jika wajahku baik-baik saja bahkan tubuhku tidak terdapat lecet sama sekali?" Chaeyoung menarik paksa tangan kakaknya itu untuk menangkup kedua wajahnya, dan segera menyuruhnya untuk menelitinya bahwa yang ada di dalam pikiran kakaknya itu salah.
"Maaf telah berpikiran yang buruk. Kau tau aku hanya khawatir, aku takut kalau kenyataannya memang benar aku gagal menjadi seorang kakak. Kau tau rasanya menyakitkan ketika tahu waktu itu ternyata kau berbohong meski kau memiliki alasan tersendiri sampai saat ini. Tapi kumohon Rosie mulai sekarang percayalah padaku aku selalu berada dipihakmu." Jennie menatap Chaeyoung dengan pandangan terluka setelah mengeluarkan isi hatinya yang mengganggunya belakangan ini.
Rasa bersalah Chaeyoung semakin mencekiknya dengan kuat, hatinya berdenyut sakit, perkataan Jennie begitu menusuknya secara tak langsung.
Ia begitu membeci dirinya yang tak bisa berbuat apapun.
.
.Sengaja semuanya dibuat kentank

KAMU SEDANG MEMBACA
Serene
Fiksi Penggemar4 bersaudara Ngga usah berekspektasi apa-apa. Ngga usah baca jikalau tidak mau ngevote. Oke? Oke. Ngga. Becanda.