"Setelah kau menyelesaikan pendidikanmu yang sekarang, saya harap kau melanjutkan tingkatan selanjutkanya jauh dari sini. Kau tidak perlu khawatir masalah kekurangan nantinya. Semuanya telah saya persiapkan. Jadi cepatlah selesaikan sekolahmu ini.""Apa tidak hal lain yang bisa kau lakukan selain menyusahkan kami dengan tubuh lemahmu itu, huh?"
"Dasar anak penyakitan, apa kamu tidak sadar kalau kau hanya menjadi beban untuk kami?"
"Sialan harusnya kau sadar diri kau ini dari keluarga terpandang bisa-bisanya memiliki peringkat yang jelek, kau hanya bisa memalukan kami tidak seperti saudari-saudarimu yang lain yang selalu membanggakan."
"Kau hanya benalu dikeluarga ini"
"Dasar anak pembawa sial."
Chaeyoung memegang erat pembatas balkon kamarnya, dinginnya udara malam yang menusuk tulang-tulangnya ia abaikan, karna nyatanya dinginnya malam yang menusuk tidak ada apa-apanya dibandingkan hatinya yang tengah hancur lebur.
Ingin rasanya berteriak namun tak sanggup karna tenggorokannya yang ikut terasa tercekik dan pedih disaat bersamaan.
Untuk saat ini bolehkah ia menyerah?
Kata-kata yang menyakitkan itu terus berputar dikepalanya bak kaset rusak, membuat telinganya berdengung hebat, ia kalut ia tak bisa mendengar apapun lagi.
Air matanya menetes membasahi lantai yang ia pijak. Nyatanya ia mulai ikut terhasut untuk membenci dirinya sendiri.
"Chaeyounga- sadar lah, aku mohon jangan membuatku takut." Samar-sama ia bisa mendengar suara ditengah hebatnya dengungan memenuhi gendang telinganya.
Dapat ia rasakan selain rasa dingin yang tadi menusuk mulai berganti dengan hangat yang tersalur dari tubuhnya yang dipeluk dari belakang, menyematkan rasa nyaman menggantikan perasaan kalutnya.
Ia luruh dilantai begitu juga dengan seseorang tadi mengikuti kemauan tubuhnya.
"Aku mohon tenanglah. Aku disini, aku disini bersamamu." Suara isakan selain miliknya dapat ia dengar. Chaeyoung semakin tidak dapat menahan air matanya, bahkan sesak di dadanya semakin hebat membuat ia sulit mengendalikan laju nafasnya.
Demi apapun, ia tak tahan lagi menahan rasa pedih yang sudah lama bersemayam dihatinya.
"Sa-kit, sakit sekali rasanya." Chaeyoung memukul dadanya dengan sisa tenaga yang ia miliki, berharap pukulan itu mampu melonggarkan dadanya yang terbelenggu oleh perasaan bersalah.
"Hentikan, kumohon jangan menyakiti dirimu lagi." Bisikan lirih itu menyadarkannya, meski tak bisa dipungkiri ia masih ingin memukuli dadanya yang tetap saja terasa sakit itu, namun ia tak bisa melakukannya ketika tangannya juga ikut terhalang oleh pelukan.
Ingin sekali ia mencaci maki akan tetapi ia merasa tenaganya telah habis terkuras bahkan hanya untuk sekedar memutar tubuhnya pun ia merasa sudah tak sanggup.
Pada akhirnya hanya suara isakannya yang semakin kecil yang terdengar, pelukan itu masih terasa, yang ia yakini sebagai milik Lisa dikarenakan tangannya yang besar tengah mengganggam tangannya sekarang serta harum khas vanilla yang berasal dari tubuh Lisa meski tidak memakai parfum sedikitpun. Sampai akhirnya ia merasa lelah dan menyandarkan tubuhnya di dada milik kembarannya itu.
.
.Lisa mengangkat tubuh Chaeyoung ketempat tidurnya. Membaringkan tubuh saudaranya itu yang terlihat sangat kacau. Matanya yang membengkak, jejak air mata yang membekas dengan rambut yang sangat berantakan. Andai saja ia tak menengok saudaranya karna merasa gelisah tanpa sebab, ia tidak tau apakah yang akan terjadi pada Chaeyoung saat itu juga.
"Chaeyounga--" Pandangan kosong itu membuat Lisa ingin menangis, hatinya teriris perih melihat saudaranya seperti ini.
Sekuat tenaga ditahannya, jika ia menangis bagaimana bisa saudaranya kuat kembali?
"Katakanlah sesuatu." Melihat air mata Chaeyoung yang kembali membasahi pipinya, membuat Lisa menggigit bibirnya sendiri menahan sakit yang juga terasa dihatinya.
Lisa menunduk memejamkan erat matanya berharap air matanya tak turut untuk tumpah.
Setelah dirasanya ia cukup kuat kembali, ia menatap saudaranya itu yang tidak menunjuk perubahan. Akhirnya Lisa ikut membaringkan tubuhnya. Keduanya saling berhadapan, menatap satu sama lain. Meski Lisa yakin bahwa Chaeyoung tak benar-benar menatap kearahnya.
Dengan tangan yang bebas, Lisa menyapu air mata yang menghiasi wajah kembarannya itu. Dengan sabar ia menghapusnya karna sesekali airmata saudarinya itu masih mengalir.
"Kau masih tak ingin mengatakan sesuatu?" Suara Lisa yang bergetar dan serak akhirnya mampu menjadikan Lisa sebagai fokus matanya.
Sebuah gelengan kepala dari Chaeyoung membuat Lisa putus asa. Ia benci ketika menjadi tak berguna seperti ini.
"Lisa-ya?"
"Ada apa? Kau butuh sesuatu?"
"Boleh peluk aku?"
Tanpa berpikir panjang, Lisa membawa saudarinya itu ke dalam pelukannya. Ia berharap Chaeyoung dapat merasakan kekhawatiran yang menyelimutinya dan segera terbuka kepadanya.
"Aku menyayangimu Lisa."
"Aku lebih menyayangimu, sangat. Aku mohon bertahanlah sampai kau kebal dan terus kuat." Dapat Lisa rasakan bajunya yang terasa dingin karna basah, bahu Chaeyoung yang berguncang kecil yang menandakan ia tengah menangis kembali.
Dipeluknyaa tubuh ringkih itu lebih erat, menyalurkan semua rasa kasih sayangnya. Namun tangis Chaeyoung yang semakin terasa membuat Lisa takut apakah pelukannya sudah tidak mampu lagi untuk menenangkan saudarinya itu?
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
Serene
Fanfiction4 bersaudara Ngga usah berekspektasi apa-apa. Ngga usah baca jikalau tidak mau ngevote. Oke? Oke. Ngga. Becanda.