Chapter 2 (Part 1)

28 9 3
                                    

Lucy's P.O.V

Taptaptap....derapan langkahku terdengar nyaring dan cepat. Aku tidak mengira, di hari pertamaku aku bangun kesiangan! Ah...seharusnya aku di kamar saja tadi malam, tapi acara tadi memang tidak bisa kulewatkan. Siapa tahu para penyihir air melakukan pertunjukkan malam di pantai dekat penginapanku. Aku tidak pernah menemukan yang seperti itu di ibukota.

Kusambar kereta kuda yang berada tepat hanya beberapa langkah dariku. Aku pun melompat menaikinya seraya mengatakan tujuanku ke si penunggang kuda. Tanpa lama, dia pun mempecut kudanya. Hm, andai saja kereta kudaku tidak harus pulang ke rumah. Meski aku bangun kesiangan, aku masih bisa datang tepat waktu. Ya, kudaku bisa pulang sendiri tanpa ada yang mengendarainya. Entah dia memang dilatih atau dipakaikan sihir, orang tuaku tidak pernah memberitahuku.

Irama derapan sepatu kuda membuatku merasa nyaman. Badanku yang belum sepenuhnya istirahat ini bisa tertidur jika aku membiarkannya. Serasa seperti dihipnotis, kelopak mataku menjadi berat dan pandanganku berkunang-kunang. Tanpa keinginanku sendiri, mataku akhirnya terpejam sempurna.

***

Di kamarnya, didampingi keluarganya, kepalaku tertunduk. Air mataku mengalir deras. Sekuat apa pun, aku tidak bisa menghentikannya. Selelah apa pun, aku juga tidak bisa berhenti. Ini semua salahku. Jika aku berlatih lebih keras, mungkin hasilnya tidak akan seperti ini.

"Kumohon, bangunlah..." hanya itu yang bisa kukatakan diantara isakan tangisku. Maaf, maafkan aku selama ini yang selalu menjahilimu, membebani hidupmu dari pertama kali kita berjumpa. Aku akan menunggu. Entah berapa lama, aku yakin dia akan bangun.

***

JDAK!! Kepalaku membentur gerbong kereta kuda. Aku mengelus bagian yang terbentur itu, dan di saat itulah aku sadar kalau aku sedang menangis. Tapi...kenapa? Apa yang tadi kumimpikan? Andai kepalaku tidak terbentur mungkin aku masih ingat.

Selang beberapa waktu, aku pun sampai di depan gerbang akademi. Sepi. Sudah sepatutnya. Hanya ada petugas penjaga gerbang dan seorang murid laki-laki yang sepertinya juga terlambat.

"Hei, kamu anak baru. Sini..!"

Petugas itu melihatku dan mengenalku. Keren, bagaimana dia bisa tahu aku anak baru?

Aku melangkah menujunya, berdiri di samping laki-laki itu. Bukan, dia bukan Damien. Dari rambut dan wajahnya sudah terlihat jelas berbeda. Dan tambah lagi, senjata yang dia bawa adalah pedang anggar. Tapi, jika boleh jujur...dia sangat mempesona.

"Kalian berdua, baru hari pertama sudah telat. Saya tidak peduli alasan kalian, pokoknya sehabis lonceng pulang berbunyi, kalian datang ke kantor saya. Paham..?!"

"Paham..." jawab kami lemas.

Setelah mendengar jawaban kami, dia pun membukakan gerbang. Hebat sekali Lucy, kau akan dapat hukuman pertamamu, entah apa pun itu.

"Eh, alasanmu telat apa?" tanyaku ke murid yang tadi telat bersamaku.

Dia menoleh ke arahku. Tatapannya dingin dan tajam, seperti mengisyaratkan kepadaku untuk pergi.

"Gak usah nanya. Gak ada hubungannya sama kamu." Jawabnya ketus.

Dia pun langsung meninggalkanku dan menuju kealsnya. Ha...dulu aku mati-matian mengejar orang seperti dia. Dan betapa bodohnya perbuatanku itu.

Sepanjang perjalanan menuju kelas, aku sibuk memikirkan hukuman apa yang akan kuterima. Kubuka pintu kelas dan tepat setelah itu, semua mata tertuju ke arahku.

"Permisi, maaf..aku terlambat."

"Kamu tidak salah masuk kelas?" tanya pengajar kelas.

"Tidak, kak. Aku memang kelasnya disini."

Setelah perkataanku itu, tiba-tiba satu kelas bersorak sorai seperti anak-anak kecil yang diberikan hadiah. Aku terdiam, kebingungan.

"Akhirnya...ada pemandangan yang indah di kelas..." ujar seorang murid, diiringi teman-temannya dengan perkataan yang mirip.

Oh, jadi begitu ya. Mayoritas yang mengikuti kelas ini adalah laki-laki. Ya, wajar saja mereka berkata begitu.

"Coba perkenalkan dirimu sendiri di depan para buaya kelaparan ini." Ujar kakak pengajar kelas sambil terkekeh.

Kuhadapkan pandanganku ke arah mereka."Perkenalkan semuanya. Namaku Lucy Mayne, panggil saja Lucy. Senang bertemu kalian." Ujarku dengan secarik senyuman manis di wajah.

"Hm, Lucy ya...?" dia mengambil secarik kertas di mejanya. "Ya, namamu ada disini. Silahkan duduk. "

Pandanganku menyapu ruang kelas, mencari kursi yang bisa kutempati. Kudapatkan satu, dan untungnya teman bangkuku ialah orang yang sudah dekat denganku, Damien. Posisi duduknya ada di tengah, di samping jendela, seperti tokoh utama pada umumnya, haha.

Aku pun melangkah kesana. Terdengar bisik-bisikan para murid yang entah isinya apa. Aku menghiraukannya dan duduk di atas bangku.

"Pagi, Damien."

"Iya...pagi juga....ditungguin dari tadi kemana saja?" balasnya dengan nada malas.

"O-oh...soal itu ya...hehe. Aku kesiangan, maaf ya. Ini yang terakhir kali, janji."

"Hm...janji, sudah berapa kali kamu janji."

"Ya sudah, kalau begitu setiap pagi kamu ke kamarku, bangunin. Gimana?"
Wajahnya memerah, gerakannya menjadi acak-acakan, "M-mana mungkin...! Nanti dikira mau berbuat yang tidak-tidak..."

Melihatnya seperti itu membuatku merasa bahagia. Mungkin aku akan lebih sering melakukan itu padanya.

***

The DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang