Chapter 7 (Part 1)

7 2 0
                                        

Damien's P.O.V

"Sesuai agenda di kalender akademik, minggu depan akan dilaksanakan ujian kenaikan kelas. Saya harap kalian mempersiapkannya dengan baik. Kelas dibubarkan."

Pak Guru pun meninggalkan kelas, meninggalkan suasan kelas yang mendadak ramai oleh para murid yang membahas masalah ujian. Ada yang saling mengajak untuk belajar bersama dan sebagainya.

"Hei Damien, nanti ajarin aku matematika ya." Pinta Lucy tiba-tiba.

"Hah? Sejak kapan aku jago matematika? Lebih baik kamu minta ke Sarah. Dia lebih jago daripada aku." Balasku menolak.

"Yah ... sebenarnya aku hanya mau menghabiskan waktu denganmu saja~." Ujarnya memelas.

DEG! Jantungku melompati satu detakkan. Aduh, sampai kapan aku terpengaruh dengan perkataan-perkataan manisnya?

Dia terkekeh, "Aku tidak pernah bosan melihat ekspresimu itu. Jadi, jangan harap aku akan berhenti, ya ...?"

Dasar gadis itu .... Meski aku agak kesal melihatnya melakukan "itu", aku tidak pernah berharap dia berhenti.

Kami pun beranjak dari bangku, hendak pulang. Tapi, tiba-tiba ....

"Damien, kamu " pinta mereka tiba.

Mereka adalah Steven, Richard, dan Bardolf. Mereka dikenal sebagai trio bersaudara yang paling sering membuat masalah di kelas. Tapi meski begitu, mereka segan padaku, tidak seperti terhadap murid lain.

"Ah, kalian. Bukannya tehnik berpedang kalian sudah bagus ya? Dan Steven, bukannya kamu ikut kompetisi antar kelas semester ini?"

"Yah, iya sih. Tapi gerakan-gerakanku masih kurang lincah."

"Kalau soal kelincahan, kamu tinggal sering latihan saja sendiri. Aku tidak perlu mengajarkanmu apa-apa." Balasku.

"Lalu, bagaimana dengan tehnik sihir yang seperti kamu lakukan?"

Aku menghela nafas. Sudah sepanjang tahun aku mendapatkan pertanyaan dan sudah selama itu juga aku menjawabnya.

"Bukannya sudah sering aku jawab? Kamu hanya konsentrasi dan memusatkan tenaga ke satu titik tebasan sebagaimana kamu ingin menebas dengan kencang." Jelasku lagi, sama seperti berkali-kali sebelumnya.

"Ah ... kalau itu kami sudah sering mencobanya. Tapi tetap saja gagal. Apa jangan-jangan ... selama ini kamu membohongi kami semua?!" tuduh.....

"Dia tidak berbohong. Aku sendiri sudah mencobanya." Sahut Sarah tiba-tiba.

Mata mereka terbelakak kaget. Seakan-akan wajah mereka mengatakan, "A-apa? Tidak mungkin!"

"Ma-maaf sudah menuduhmu, Damien! Kami akan berjuang lebih keras!" ujarnya sambil menunduk hormat ke arahku.

"Haha, iya tidak apa-apa. Semangat ya." Balasku menyemangati mereka.

"Kalau begitu, kami permisi dulu."

Dengan itu, merekapun pergi meninggalkanku. Tapi disamping itu, aku terkejut Sarah sekarang sudah bisa melakukannya.

"Wah, Sarah. Kamu serius sudah bisa melakukannya?" ujar Lucy, menanyakan hal yang baru saja ingin kutanyakan.

"Yah, walau sebenarnya kurang sempurna sih." Jawabnya.

Gadis berkacamata dengan rambut cokelat yang dikepang itu memang terlihat sudah banyak latihan. Perban putih terlihat membungkus kedua tangannya. Ah, aku jadi teringat masa kecilku dulu.

The DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang