Matahari bersinar tepat di atas kepalaku. Pada saat itu, aku sudah berdiri menghadap gerbang yang menyambutku juga sehari yang lalu. Namun, aku melihat sesuatu yang janggal di depan gerbang itu. Terdapat beberapa barisan orang-orang yang kelihatannya mengantri untuk masuk. Diriku bertanya-tanya akan alasan kehadiran mereka. Apakah mereka datang untuk menyaksikanku? Atau apakah ada tokoh besar yang datang kemari? Dan jika memang itu, kapan tesku akan dilaksanakan?
Tiba-tiba, seseorang menarik tanganku, memisahkanku dari gerombolan orang yang mengantri dan berlalu-lalang menuju sebuah gerbang kecil di samping antrian panjang itu. Ternyata yang menarikku adalah bapak-bapak administrasi yang melayaniku kemarin.
"Bagaimana? Apakah kamu sudah mengisi formulir yang bapak kasih kemarin?"
"Sudah, pak."
Aku pun menyerahkan lembaran yang berisi informasi tentang diriku. Dia mengukir senyuman puas di wajah berjanggutnya itu. Aku masih penasaran dengan alasan mereka mengantri panjang-panjang di depan gerbang utama.
"Pak, saya mau bertanya. Kenapa ada banyak orang mengantri di depan gerbang ya pak? Apa akan ada acara?"
"Oh, itu. Mereka kemari untuk menyaksikanmu."
Aku terkejut. Tidak kusangka salah satu dugaanku benar. Apakah mereka pikir ini semacam kompetisi duel yang dimana akulah si pendatang baru yang menantang sang juara di dalam kandangnya?
"U-untuk apa mereka menyaksikanku?!"
"Sudah, tidak usah banyak tanya. Sekarang kamu ke arena duel akademi, nanti ada orang yang membawamu ke ruang duelist."
Dia langsung pergi meninggalkanku. Ya, mau tidak mau aku harus melakukannya. Setidaknya jika aku kalah, jangan sampai aku kalah konyol. Aku tidak bercita-cita menjadi bahan lawakkan satu kota.
Lokasi arena duel tidak sulit untuk ditemukan. Dari tempat kuberdiri sudah terlihat jelas sebuah bangunan berbentuk seperti mangkuk raksasa yang ramai didatangi orang-orang. Tanpa basa basi, aku langsung menuju kesana.
Seperti yang bapak berjanggut tadi katakan, ada seseorang yang membawaku ke ruang duelist. Aku pun membuka pintu dan melangkah masuk ke dalam. Besar ruangnya kurang lebih tidak jauh dari besar kamarku. Ya...bisa dikatakan sempit. Di dalamnya terdapat beberapa senjata yang dapat digunakan. Namun, aku tidak akan memakainya. Aku sudah membawa senjataku sendiri. Ada juga selembar kertas yang menerangkan berbagai ketentuan-ketentuan berduel. Setelah aku baca-baca, tidak terlihat jauh berbeda dari yang ayahku tetapkan setiap kami berlatih.
"PERHATIAN BAGI KEDUA DUELIST, WAKTU PERSIAPAN TERSISA LIMA MENIT...!"
Pengumuman tersebut terdengar dari dalam arena. Kupanjatkan doa-doa dan kuperiksa pedangku untuk terakhir kali sebelum memasuki arena duel.
Lima menit telah berlalu. Pagar yang memisahkan ruangan duelist dengan arena duel terbuka. Aku melangkah keluar dari ruangan. Terdengar ricuh sahutan dan tepukan tangan para penonton. beberapa langkah di depanku terlihat lawan duelku. Tunggu sebentar. Sepertinya aku mengenalnya. Bukankah dia yang membantuku mencari kantor administrasi?
Seorang juri berdiri di tengah-tengah arena. "Mohon kepada kedua duelist untuk ke tengah arena." Tuturnya.
Gadis itu sekarang berada tepat di hadapanku. Dia menggunakan sabit sebagai senjatanya.
"Sepertinya kita pernah bertemu sebelumnya."
Dia masih menatapku seperti kemarin. "i-iya ya, haha." Balasku canggung.
Sang juri menyebutkan ulang ketentuan-ketentuan yang tadi sudah kubaca. Setelah itu, dia kembali ke tempat duduknya bersama juri-juri yang lain.
"Mulaikan hitung mundur!"
Setelah sahutan itu, tiba-tiba muncul semacam tulisan angka yang mengambang di tengah-tengah arena. Sepuluh. Setiap detiknya bilangan itu berkurang satu. Gadis itu melangkah mundur seraya memposisikan kuda-kudanya. Aku pun melakukan hal yang sama. Tiga, dua, satu. Hitungan mundur berakhir. Tanpa peringatan apa pun, dia langsung berlari ke arahku seraya mengayunkan sabitnya. Aku lompat menghindarinya dilanjut dengan upaya menikamnya. CTRASS!! Dengan cepat, dia kembali ke posisi semula dan berhasil menangkis seranganku. Aku pun kembali ke posisi semula dan menyerangnya dengan tebasan beruntun. Tebasan demi tebasan kulancarkan, dengan mudah dia tangkis dengan sabit besarnya itu. Dia menggunakan sabitnya seperti layaknya seorang penari. Seluruh tubuhnya dia gunakan untuk mengayunkan sabitnya. Aku terkagum melihat teknik bertarungnya. Sangat unik dan tidak biasa.
"Kena kau."
Sabitnya memancarkan cahaya berwarna ungu. Dia mengayunkan sabitnya ke atas. Aku tidak sempat menghindar, gawat!
TASS!! Aku terpental ke udara. Seraya menahan rasa sakit, kuambil kesempatan ini untuk melancarkan teknik sihir Aerial Slash. Dorongan dari serangan itu membuatku bisa mendarat dengan benar.
"Hm, kamu lumayan juga rupanya. Tapi, apa hanya segitu kemampuanmu?"
"Heh, aku baru saja pemanasan."
Dia terkekeh mendengar balasanku. Sepertinya aku akan menyesal setelah mengatakan itu.
Seperti tadi, sabitnya memancarkan cahaya ungu. Jaraknya denganku terlalu jauh jika dia ingin memakai teknik tadi. Apakah dia akan memakai Aerial Slash juga?
Dia "menari" dengan sabitnya seperti saat dia menangkis tebasan-tebasanku. Dugaanku benar. Cahaya-cahaya berwarna ungu berbentuk bulan sabit berterbangan ke arahku. Satu, dua, tiga berhasil kuhindari. Namun, dia tidak berhenti setelah ketiga kalinya. Dia terus menerus menyerangku tanpa belas kasihan. Aku mulai kewalahan menghindari serangan-serangannya. Jika terus begini, cepat atau lambat aku akan kalah. Aku harus mencari jalan keluar dari hujanan sabit-sabit ungu ini. Hm, aku mulai bisa membaca pola serangannya. Apa yang terjadi jika dua Aerial Slash diadu satu sama lain? Mungkin dengan itu aku bisa merusak pola serangannya. Mungkin saja, aku belum tahu pasti. Tapi, apa salahnya mencoba, kan?
Aku mengambil waktu yang pas untuk melancarkan seranganku. Tepat setelah dia menyerang untuk ketiga kalinya, dia memakan waktu lebih lama untuk melancarkan serangan keempat. Disitulah aku akan menyerang. Dan tepat saat dia melancarkan serangannya yang keempat, seranganku akan menabrak serangannya. Aku mengambil posisi dan, CTASS!! Seranganku berhasil kulancarkan. Wajahnya terlihat terkejut melihat serangan dadakan dariku. Sesuai perhitunganku, dia pun melancarkan serangannya tepat di depan seranganku.
JDARR!! Dia terpental ke begian pinggir arena dan terbaring di tanah. Inilah kesempatanku untuk menghabisinya. Aku berlari ke arahnya dengan pedangku yang berposisi siap untuk menebas. Tepat sebelum dia sadarkan diri, bilah pedangku sudah berada di samping lehernya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
The Dream
Fantasy(Remake dari yang pertama) Menjadi seorang jendral kesatria kerajaan tingkat pertama sudah lama menjadi impian seorang Damien Victor. Dengan kegigihan dan kebulatan tekad, dia berlatih demi berhasil lulus di Knight's Academy. Tempat pendidikan palin...