Chapter 5 (Part 4)

13 4 0
                                    

Di lobi arena lantai dua, tempat menyaksikan pertarungan murid lain. Aku mendapatkan posisi duduk yang kurang nyaman. Karena tentunya, ruangan ini sudah dipenuhi murid-murid lain yang menantikan finalnya.

Sekarang pertarungan kelas sihir melawan kelas perisai tengah berlangsung. Sampai sekarang aku tidak habis pikir bagaimana kelas perisai bisa mencapai semi-final. Kukira mereka hanya kelas yang hanya ditujukan dalam pertahanan, namun kompetisi ini benar-benar menghabisi pola pikirku itu.

Mereka seperti melakukan seni bela diri dengan menggunakan perisai. Ya, dari kalimat itu saja sudah membuatku terkejut. Dan terlihat jelas mereka berhasil memojokkan kelas sihir dengan baik. Gerakan mereka yang lincah dan pertahanan mereka yang tinggi membuat mereka tak terkalahkan. Aku jadi penasaran bagaimana nanti Damien dan Lucy menghadapi mereka.

"Wah...kelasku kalah ya..." ujar seseorang di sampingku.

Sontak aku menoleh, "Mary?! Bagaimana kamu bisa berada disini? Bukannya murid selain peserta kompetisi dilarang masuk?"

Dia tersenyum licik, "ada deh...hehe."

Aku menghela nafas. Ada-ada saja anak ini. Yah, mau diapakan lagi. Sebenarnya kalau boleh jujur, aku senang dia menemaniku. Semoga saja dia tidak terkena masalah karena ini.

Pertarungan terakhir semi-final telah berakhir dengan pemenang yang sudah terlihat dari awal, kelas perisai. Dan sekarang, pertarungan yang ditunggu-tunggu. Pertarungan final dari kompetisi ini. Terdengar sorak-sorai para penonton hingga ke dalam ruangan ini. Dan ternyata murid-murid perwakilan kelas lain juga mulai mendukung dukungan mereka dari kedua kelas yang masuk final.

"Ah...aku sangat bersemangat! Walau sebenarnya aku tidak tahu harus mendukung siapa. Kelasku sendiri sudah kalah. Hm...andai saja aku yang ikut kompetisi ini..." gumannya.

"Wah, percaya diri sekali kamu." Ujarku menceletuk gumanannya.

"A-ah! A-aku tidak bermaksud seperti itu! A-aku hanya--!"

"Haha, iya iya. Tidak apa-apa jika kamu percaya diri seperti itu. Hanya tinggal kamu buktikan saja kemampuanmu itu."

Tatapannya berubah menjadi sendu. Apakah ada yang salah dari perkataanku?

Kedua matanya mulai berkaca-kaca. Air matanya sedikit lagi akan tumpah. Tidak, tidak lagi. Sontak aku menarik dan mendekapnya.

"J-Jamie..."

Tunggu, apa yang kulakukan?!

"Ma-maafkan aku!" sahutku seraya mencoba untuk melepasnya.

Tepat saat itu, dia membalas dekapanku.

"Sedikit lebih lama...kumohon..."

Seketika jantungku mulai berdentum tak beraturan. Setelah tiga detik berlalu, dia baru melepasku. Dia menunduk dengan wajahnya yang memerah.

"Terima kasih, Jamie." Ujarnya lirih.

Aku mematung, terkejut dengan kejadian barusan. Aku hanya mencoba membuatnya tidak menangis. Tapi, tidak kusangka rasanya akan seperti ini.

Aku memalingkan pandangan, mencoba untuk meredam perasaan yang berlebih itu seiring dengan keheningan di antara kita berdua.

"Ngomong-ngomong. Maaf soal perkataanku tadi. Aku tidak tahu itu akan membuatmu tersinggung." Ujarku memecah keheningan

Dia menggeleng, "tidak. Kamu tidak salah. Sebenarnya, aku hanya teringat saat latihan duel sihir waktu itu. Aku tanpa sengaja berlebihan dalam menggunakan kekuatan sihirku. Dan, seperti perkataanmu "bungkamkan mereka dengan prestasimu". Bukannya mereka terbungkam, mereka malah makin membenciku dan terus menghinaku."

The DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang