Chapter 2 (Part 2)

17 6 0
                                    

Damien's P.O.V

Lonceng pertanda pulang berdentang tiga kali. Para murid berbondong-bondong meninggalkan kelasnya masing-masing. Aku masih terduduk manis di bangkuku, menunggu Lucy menyelesaikan hukumannya. Jika boleh jujur, aku enggan melakukan itu, tapi...hati kecilku berkata untuk melakukannya. Ya, memang terdengar konyol. Aku sendiri juga berpikir demikian.

"Sudah selesai belum?"

"Belum, sedikiiit lagi." Ujarnya, diringi tangannya yang dengan cepat mencoret-coret kertas.

Aku menghela nafas. Dari setengah jam terakhir itu yang dia katakan. Entah apakah kali ini dia serius mengatakannya.

"Yess!! Akhirnya...maaf menunggu lama, hehe."

Oh, kali ini dia serius. Akhirnya, dia berhenti memberikanku harapan palsu. "Ya sudah. Ayo pulang."

Kami berdua melangkah keluar dari kelas. Masih ada beberapa murid yang berlalu-lalang. Lucy terlihat memperhatikan salah satu dari mereka. Rambutnya pirang dan perawakkannya seperti tokoh-tokoh pria yang diidamkan para wanita, atau bahasa kerennya cowok primadona.

"Ada apa? Kamu kenal dia?" tanyaku penasaran.

"Ah, tidak. Dia yang tadi telat sama aku. Tapi, saat aku tanya kenapa, dia tidak mau menjawab."

Aku mengangguk-angguk seraya mengatakan "oh..."

"Kamu kenal dia?" tanyanya tiba-tiba.

Aku terdiam sesaat, memikirkan bagaimana caranya aku menjawab pertanyaannya. "Ya...memang begitu orangnya, biarkan saja."

Dia memandangku bingung. Meski begitu, aku tidak melanjutkan penjelasan tentang orang itu. Aku sedang tidak ingin membahasnya.

"Eh, nanti malam ada festival air menari lagi, kan? Kita kesana yuk!"

"Hah..? Kamu belum puas tadi malam."

Ekspresinya berubah. Tiba-tiba, dia menaruh kedua lengannya di sekitar lenganku dan memeluknya. "tapi kan gak ada kamu~."

Sekujur badanku mematung. Derap detak jantungku semakin cepat." A-anu...Lucy, orang-orang nanti melihat kita..."

"Biarkan saja. Biar mereka tahu aku milikmu~"

"Ka-kamu ngomong apa sih..!" balasku seraya menarik lenganku kembali.

Dia terkekeh, "aku hanya bercanda. Jangan dianggap serius."

Aku memalingkan pandanganku, menyembunyikan wajahku yang pastinya terlihat seperti kepiting rebus.

***

"Kutunggu nanti malam ya..!" sahutnya dari kejauhan.

Dia pun menghilang dari pandanganku. Nanti malam, ya? Seharusnya aku berlatih berpedang dengan ayahku tapi, mungkin malam ini aku bisa meminta izin kepadanya.

Aku melangkah melewati pagar betis yang dibuat oleh antrian pembeli roti lapis ibuku hingga ke depan pintu.

"Ah, kakak sudah pulang. Sini, bantu ibu."

Aku mengangguk seraya menyandarkan pedangku ke tembok. Sejak ibuku memulai bisnis roti lapis ini, tidak jarang aku diminta untuk membantunya. Entah itu menerima pesanan, membantunya memasak, dan hal-hal lainnya yang berkaitan dengan menjalankan bisnis kuliner. Namun, di hari pertamaku sekolah, ibuku terpaksa untuk kerja sendiri. Ia belum berencana mencari pembantu untuk bisnisnya.

Sore hari berganti malam, dan malam harilah saat ibuku menutup kedainya. Oh, dan saat aku membantunya, aku sempat bertanya soal ayah. Katanya ia ada tugas keluar kota, jadi satu minggu kedepan ia tidak ada di rumah. Ya, itu berarti aku bisa datang malam ini.

Setahuku, festival air menari dimulai sekitar pukul tujuh. Aku pun menengok ke arah jam, untuk memastikan aku belum terlambat. Dan, ya. Aku tidak terlambat. Hanya saja, waktu yang tersisa untuk kesana tinggal sepuluh menit. Sudah bisa dipastikan aku terlambat. Paling cepatnya saja aku membutuhkan dua puluh menit. Baiklah, mau bagaimana pun aku akan tetap berangkat. Kasihan dia jika kutinggal.

Setelah memberitahu ibuku, aku langsung berlari keluar rumah. Aku tidak sempat mengganti pakaian saking terburu-burunya. Walau begitu, aku yakin dia lebih mementingkan kehadiranku dibanding apa pun.

***

Aku pun sampai dengan nafasku yang tersenggal-senggal. Semoga saja aku belum terlambat.

"Damien? Kamukah itu?"

Suara tak asing itu merambat ke telingaku. Aku menoleh dan, mataku terbelakak. Penampilannya yang begitu indah membuatku salah tingkah.

"Y-ya...! Maaf. Sudah menunggu lama ya?"

Dia terkekeh, "Sudah terlambat, masih pakai seragam sekolah...Aku jadi penasaran apa kesibukanmu sehari-hari. Baik, karena kamu terlambat, aku akan memberikan memberimu hukuman."

"Eh...! Tidak, aku tidak terima."

Dan perdebatan itu pun berlangsung untuk beberapa waktu. Menyebalkan, tapi membuat nyaman, aneh sekali. Aku tidak pernah merasakan yang namanya seperti itu.

"Damien, kau tahu? Kamu sangat cocok memakai seragam sekolah."

"Bukankah semuanya juga?" balasku akan pernyataanya yang membuatku heran.

"Tidak,tidak. Maksudku, untuk kapanpun kamu cocok memakainya. Jadi, tidak perlu khawatir soal penampilan, ya?"

Aku tersipu. Perkataanya serasa membuat diriku terbang entah kemana. "Yaelah, baru kupuji seperti itu." ledeknya sambal terkekeh.

***

The DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang