Chapter 1 (Part 5)

19 6 4
                                    

Suara tepuk tangan dan sorakan para penonton terdengar nyaring ditelingaku. Aku...aku menang! Benar yang ayahku katakan. Jika aku tenang dan percaya diri, aku dapat mengalahkan musuh yang lebih kuat dariku. Ku simpan kembali pedangku ke dalam sarungnya seraya ku bersujud syukur atas kemenangan ini.

"K-kamu baik-baik saja?" tanyaku kepada gadis pemakai sabit yang masih terbaring.

Dia berdiri kembali, "ya, haha. Aku baik-baik saja."

Tiba-tiba, sang juri datang seraya bertepuk tangan." Hebat, hebat sekali! Tidak pernah dalam sejarah akademi ini seseorang yang bahkan belum termasuk murid akademi ini mengalahkan salah satu murid terbaik kami." Ujarnya dengan senyuman puas.

Setelah ujarannya, dia pun menutup acara siang ini. Dalam benak hatiku, aku merasa tidak nyaman setelah menjatuhkan harga diri gadis itu. Mungkin setelah ini aku akan bicara dengannya.

Aku diminta untuk ke kantor administrasi untuk mengurus berbagai hal yang berkaitan dengan penyekolahanku disini seperti buku-buku pelajaran, kelas, dan lain sebagainya. Seperti yang kuisi di formulir, aku memilih kelas senjata pedang. Dan aku tidak hanya akan belajar berpedang disini. Pelajaran-pelajaran umum lainnya juga akan kupelajari disini. Oh, soal biaya. Katanya aku mendapatkan beasiswa hingga lulus! Mereka sangat terkagum dengan hasil tesku. Meskipun begitu, aku masih harus bicara dengannya. Aku tidak akan bisa tidur tenang nanti malam sebelum aku tahu dia menerima kekalahannya.

Aku melangkah keluar dari gedung mansion itu. Beberapa orang-orang yang menonton tadi sudah pergi, namun masih ada yang duduk-duduk santai disekitar akademi. Aku melihat gadis itu sedang menyendiri di bawah pohon rindang. Aku pun menghampirinya.

"A-anu. Aku ingin bicara sebentar."

Dia menoleh. Ekspresinya terlihat bingung, "ada apa?"

"Tentang duel tadi, aku minta maaf. A-aku tidak bermaksud menjatuhkan harga dirimu. A-aku ta—"

"Gak. Aku gak mau maafin." Jawabnya dingin.

Jantungku berdebar kencang. Tatapannya menikam diriku yang gemetar ketakutan. Aku terbungkam. Tidak tahu apa yang harus kukatakan lagi.

"Ada syaratnya kalau mau kumaafin."

"A-apa syaratnya?"

"Jadian denganku."

Pikiranku kosong seketika. A-apa?!

"Hahaha...aku hanya bercanda. Kamu gak usah minta maaf, aku gak marah kok."

Aku menghela nafas. Seharusnya aku tahu sifatnya yang terpancar jelas dari mukanya. Di satu sisi terlihat mengerikan. Di satu sisi lainnya terlihat cantik. Ya...bisa disebut pentolan para perempuan.

"Kamu tahu namaku?" tanyanya tiba-tiba.

"Em...tidak. Tidak ada yang pernah memberitahu namamu. Kita juga belum kenalan, kan?"

"Namaku Alice, Alice Steryn."

Alice. Dia sangat jauh dari gambaran seseorang yang bernama Alice. Biasanya yang bernama Alice memiliki rambut pirang, tapi dia memiliki rambut berwarna hitam. Dari sifat juga begitu. Yang biasanya kukenal Alice itu lugu dan polos, dan dia seratus delapan puluh derajat kebalikan dari kedua sifat itu.

"Namaku Da—"

"Aku sudah tahu namamu. Damien Victor, kan?"

Aku menggangguk, mengiyakan pernyataannya. Pihak akademi pasti sudah memberitahunya.

"Damien...!" sahut seseorang dari kejauhan.

Aku dan Alice menoleh. Seseorang yang baru kukenal tadi pagi berlari kecil ke arahku.

"Lucy? Aku tidak menyangka kamu akan datang."

"Ih, jahat banget sih. Aku kan sudah bilang kalau aku akan datang."

"Siapa itu, pacarmu ya?" ujar Alice tiba-tiba.

Aku gagap sejenak, "bu-bukan..! Aku baru kenal dengannya tadi pagi."

"Ah, masa? Kelihatanya sudah dekat."

Aku memandang ke arah Lucy. Dengan pipinya yang kemerahan, dia juga berusaha membenarkan kesalahpahaman ini.

***

Siang berganti senja. Tidak terasa kami bertiga telah berbincang selama itu. Aku pun memutuskan untuk pulang lebih dulu. Orang tuaku pasti menunggu hasil tesku. Ku ucapkan pamit dan sampai jumpa minggu depan. Ya, kegiatan belajar mengajar baru akan mulai minggu depan, jadi aku memiliki waktu kosong satu minggu penuh kedepan yang entah akan kupakai untuk apa.

"Tunggu Damien, aku ikut denganmu...!" sahut Lucy seraya berlari mengejarku.

"Eh, tapi kan rumah kita beda arah." Balasku.

"Tidak apa-apa, kita jalan kaki saja. Lumayan, bisa hemat, biar sehat juga."

Entah kekuatan apa yang dia miliki, dia membuatku berkata, "ya sudah" dengan pasrah.

Aneh. Rasanya aku sudah mengenalnya lebih dari sekedar namanya saja. Aku tidak tahu bagaimana perasaannya, mungkin ini hanya perasaanku saja. Tapi, meskipun aneh, aku merasa nyaman. Apa nama yang cocok untuk perasaan yang kurasakan ini?

***

The DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang