Catatan Bulan di Musim Kemarau

170 37 1
                                    

Bumi dibagian sini, berantakan sekali.

.

Ada yang terasa sangat menyebalkan begitu kami turun dari odong-odong kuning khas itu.

"Serangan badai pasir!"  jerit Bimasakti begitu ikut turun bersamaku.

Mataku terasa sakit sekali dan tubuhku serasa didorong angin begitu pasir-pasir ganas dari balik gapura itu menyambutku kelewat antusias.

"Ya! Konyoooooooollll sekali!" seru Bimasakti sembari berbalik, menatapku sembari melotot kesal mengusapi wajahnya yang penuh pasir.

"Rasanya, aku bakal melayang kembali ke Pulau Jawa detik ini juga karena melangkah saja sulit sekali rasanya!" sungut Bima yang kubalas anggukan setuju kelewat antusias.

Persetan dengan ekspektasi menonton sunset bersama-sama dengan romantis. Kalau sesampainya di bibir Pantai Kuta saja aku sudah kepingin menangis!

Sebab rasanya... Bukan masalah perkara badai pasir lagi, tapi ini badai cemburu setengah mati melihat Bumi melindungi Bintang Kejora, menarik tangannya untuk berlindung dibalik tugu, dan repot-repot meniupi matanya yang terkena butiran debu.

Bumi, tahukah kamu kalau aku juga punya sepasang mata disini?

Pun tahukah kamu, kalau dunia ini milik kita bersama? Bukan hanya kalian berdua saja?

Tahukah kamu kalau aku tak suka menjadi penonton setia cinta kalian berdua, wahai kamu, Revolusi Bumi?

"Bulan, cepat kemari!" Bimasakti menutupi wajahku, melindunginya dari balik kemeja flanel yang dia kenakan hari ini.

Menghalangi aku menonton bagaimana seorang Revolusi Bumi terasa sangat mencintai Bintang Kejora.


Tertanda,

Bulan Arotasi

Disini Saja, Ada Aku ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang