Catatan Bulan untuk Mimpi

163 36 7
                                    


Untuk Aksara


.

"Nanti kalau sudah besar, Bulan Arotasi anak Papa satu-satunya mau jadi apa?"

"Bulan? Bulan... Mau jadi dokter!"

Aku bilang. Masih segar dalam ingatan ketika bibirku mengulas cengiran lebar sembari menatap jas putih Papa super bangga.

"Bulan, mau jadi dokter seperti Papa."

"Bulan... mau menjadi dokter?"

Papa bertanya ragu, dua alisnya terangkat tinggi sementara kacamata beningnya sudah turun sampai ujung hidung.

"Kenapa Bulan mau jadi dokter?"

"Bulan mau menolong orang yang sakit seperti Papa."

Pun masih ingat bagaimana dekapan Papa terasa hangat sekali hari itu. Usapan lembutnya di rambut, juga tawa renyahnya yang merdu.

"Tapi jadi dokter itu susah loh. Bulan harus punya nilai yang bagus, tekun, dan nggak boleh pantang menyerah."

Papa berucap sembari menatap mataku serius.

"Bulan yakin?"

Yang aku tahu, aku saat itu hanya tersenyum meyakinkan dan merengkuh wajah Papa sama seriusnya dengan tangan mungilku.

"Papa, selama Bulan punya Papa. Bulan yakin Papa pasti bakal membantu Bulan sampai berhasil. Iya kan?"

Ya.

Aku yakin Papa berkata seperti itu, andai ingatanku nggak langsung berpindah ke masa di mana tubuhku terbaring kaku di atas bangsal.

Papa menangis dalam diam, sementara aku bertanya-tanya apakah aku bermimpi malam itu.

"Bulan, Papa minta maaf, nak."

"Karena Papa nggak bisa melakukan banyak hal untuk kamu."

"Kalau saja Papa lebih hebat dari ini,"

Aku ingat, ingat ketika Papa terpaksa menghentikan kalimatnya karena tercekat.

"Kalau saja Papa bisa memberikan jantung Papa untuk kamu, Lan."

Malam itu aku mau mengatakan pada Papa, kalau orang terhebat yang pernah aku temui selain Mama adalah dirinya.

Aku mau menghiburnya.

Aku mau dia tahu, apapun yang terjadi pada tubuhku, itu bukan karena kesalahannya.

Tapi aku hanya diam sampai Papa berakhir pergi.

Aku hanya diam setiap dia datang berkunjung ke kamar.

Aku hanya diam setiap dia bercerita sebanyak apa pasien yang dia tolong sepanjang hari.

Aku hanya diam tanpa tahu kalau segala yang aku lakukan kepadanya, hanya berakhir menyakiti Papa ketika aku membaca tulisan tangannya sendiri di dalam buku hariannya tentang aku.

Bulan Arotasi.

Buku usang mengenai aku satu-satunya. Doa tulus Papa untuk aku anaknya. Puisi pilu tentang keputusasaan Papa karena kebisuanku. Bagaimana dia menyalahkan dirinya sendiri karena mimpiku.

Bukan.

Bukan salah Papa aku begini.

Bukan salah Papa kalau hidupku bakal sesingkat ini.

Jadi hari itu aku mengubah mimpiku. Hari itu aku hanya mau Papa tahu seberapa berjasanya dia dalam hidupku.

Ya. Cukup. Hanya itu pintaku.

Lalu Aksara mengulurkan tangannya untuk membantu.


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Disini Saja, Ada Aku ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang