Sisi Bumi: Tentang Hujan

168 34 4
                                    



Saya menatap dinding kaca disebelah saya yang dipenuhi tetesan air hujan ketika Bulan Arotasi sedang sibuk menulis puisi baru untuk lomba barunya Sore ini pada kertasnya. Bibir saya mengulas senyum tipis ketika ingatan saya membawa saya ke masa di mana Cahaya Mentari masih terlalu nyata di hidup saya.

Sabtu sore, saya baru pulang dari rumah Langit. Memuaskan diri memainkan konsol game terbaru miliknya yang masih jarang dimiliki orang lain. Hujan turun hari itu, tidak deras, tapi cukup lama hingga membuat saya nggak sabar dan memilih menerobosnya mengingat titik hujan tidak terlalu jauh dari rumah saya.

Sepertinya, itu pertama kali saya merasa hujan adalah teman saya, membiarkan saya berjalan dibawahnya dan menikmati bagaimana setiap tetesannya menyentuh dingin kulit saya, rasanya sangat luar biasa.

Saya terlalu menyukainya, bermain hujan sendirian seperti orang gila sampai lupa kalau ada dua orang lain menunggu saya dengan cemas di rumah.

"Kamu pikir lucu apa?!" adalah kalimat pertama yang saya dapati ketika pulang dengan senyuman lebar dibibir yang membiru. Sepasang mata Cahaya Mentari menatap saya marah sementara Papa yang sedang sibuk menelepon orang berakhir menghentikan kegiatannya dan memilih mendekati saya dengan wajah lega.

"Dari mana aja kamu, Bumi?" Papa bertanya, tapi fokus saya hanya tertuju pada wajah gadis itu. Pikiran saya mengatakan, teman saya benar-benar marah hari itu.

"Aku main hujan, Pa." jawab saya tanpa mengalihkan mata saya dari Cahaya Mentari. Bertanya-tanya alasan dia bisa semarah itu sekarang.

Sebab rasanya konyol sekali kalau dia marah hanya karena saya pulang terlambat dan hujan-hujanan, kan?

Ini biasa. Mengapa dia semarah itu? Apa karena suasana hatinya sangat buruk?

Saya masih terlalu sibuk dengan pikiran sendiri sampai dia kembali buka suara.

"Kamu bersenang-senang sementara orang rumah mengkhawatirkan kamu. Begitu ya?" Tari bertanya marah dan saya hanya menatapnya tak percaya. "Kenapa kamu memarahi aku?"

"Bumi, bukan begitu maksud Mentari." Papa menengahi, jemarinya mengusap wajah saya yang masih penuh oleh air hujan sebelum menatap mata saya mengingatkan. "Tari khawatir karena kamu belum sampai rumah padahal teman-teman kamu bilang kamu sudah pulang."

"Tapi aku nggak apa-apa tuh." saya membalas dan Tari menatap saya dengan sangat sinis. "Ya. Tuhan masih sangat menyayangi kamu, dan bodohnya aku yang berpikir kamu, Bumi yang sangat hebat bisa kenapa-napa."

"Kamu menyumpahi aku, Tari?!"

Papa melerai kami sesegera mungkin dan Tari kembali ke kamarnya. Meninggalkan saya yang keras kepala mengutarakan banyak alasan mengapa Tari sangat konyol dan menyebalkan sore ini kepada Papa.

Itu pertama kalinya perang dingin terjadi diantara saya dan Cahaya Mentari.

Kami mogok bicara sampai seminggu ke depan, sampai semesta membuat saya merasakan bagaimana jadi Papa dan Mentari hari itu.

Menunggu Mentari pulang ditengah hujan deras sendirian di rumah. Merasa ketakutan, dan berharap gadis itu cepat pulang. Namun Tuhan tidak kunjung mengabulkan doa saya.

Malam itu Cahaya Mentari tidak ada dan saya merasa Tuhan sudah tidak menyayangi saya.

"Apa?"

Dia bertanya ketika saya terbangun membuka pintu rumah dan mendapati sekujur tubuhnya menggigil hebat di teras rumah.

"Minggir." dia mengusir tapi saya bergeming. Terlalu beku untuk merespon katanya.

"Jangan begini lagi." saya berkata ketika ketakutan dalam hati saya memilih menyuarakan perasaannya. Membiarkannya tahu. "Tolong jangan begini lagi, Tari."

Disini Saja, Ada Aku ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang