Berteman Keikhlasan

29 2 1
                                    

Tahukah kamu?
Bahwa hariku masih sama seperti yang telah berlalu. Tak kudapati dirimu yang membelai kekosonganku. Hatiku masih sama; sepi di tengah keramaian yang berlalu-lalang. Merintih pada gundah yang tak ingin menghilang.

Ingin marah, tetapi untuk apa. Jika kenyataannya dirimu memilih hengkang dari jangkauan. Dirimu memilih bersama genggaman yang menjanjikan. Dan aku harus tersadar bahwa keakuan tak boleh dipaksakan sebab dapat mengulirkan menyakitkan. Meski rasanya ingin berteriak pada keadialan.

Bolehkan aku egois?
Bukan sejuta harapan yang kupinta, cukup satu dan untuk selamanya. Ialah kehadiranmu yang ingin kujumpai ketika pagi menyapa—seperti dulu. Sudah lama segala hal indah itu tak menjamuku. Sudah lama genggamanmu hanya kurasa semu, hingga kecemburuan merambah dadaku kala senyummu lebih mendekap yang baru.

Aku yang masih terdiam, seolah ditertawakan kehancuran. Aku dipaksa memahami keadaan yang menyulitkan. Terseok pada jurang kegalauan, sebab rindu yang meradang. Padahal bisa saja kuceritakan dengan gamlang. Namun, patahan kepercayaan membuatku jatuh dalam kesedihan mendalam.

Lagi-lagi hatiku tertampar oleh gerombolan anak-anak di jalanan. Mereka dapat tertawa riang meski tak tahu harus kemana pulang.  Tak peduli siapa dan bagaimana esok akan menjadi pijakan, mereka tetap berjalan tanpa menyalahkan keadaan.

Jika takdir-Nya harus membuatku merelakan, biarlah hatiku terbiasa untuk menjalankan. Jika bukan sekarang untuk mendapatkan, barangkali esok akan didatangkan. Rindu ini akan menjadi teman terhebat dalam segala diksi yang kutuliskan untuk seorang penuh pengorbanan. Meski tak dapat lagi kusentuh dalam pelukan, biarlah doa panjang menjadi pagar dan teman keikhlasan.



Pacitan, 20 November 2019

Setangkai AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang