Doa di Antara Sececap Rindu

33 3 0
                                    

Kemarin, sempat kulihat anak-anak bergandeng dengan sang bunda. Mata berbinar tertanam sayang, bercanda juga bermanja penuh damba, lalu mengumbar senyum suka cita. Hingga memoar yang terlintas membuatku mengurut sesak. Menahan jatuhnya titik air dari mata. Bukan pada mereka, tetapi pada apa yang harus kulalui terus berarak— kini berjarak. Mengulirkan serpihan kenangan tatkala masih bersama hingga menjebak. Rinduku menguar tertahan tak terkuak.

Aku tak lagi menyesal dengan segala rencana Tuhan, tak lagi meratap pada dinding kasih sayang. Hanya rinduku tetiba datang untuk dia sang pemilik dekapan kehangatan.

Aku merindukannya bagai sepasang sayap yang menenangkan. Melindungi dari macam keresahan juga memberi rasa aman. Namun, lagi-lagi aku tersadar, bahwa jarak membentang dan saling menantang. Rinduku hanya tersalur di antara ribuan doa yang terpanjatkan. Melirihkan harap agar dapat dikabulkan tanpa tercekat.

Tak mengapa. Aku bukan ingin mengeluh, bukan ingin merengek untuknya datang memeluk. Sebab, aku percaya, dirinya pun sedang mendoakan dengan khidmat, penuh air mata ketulusan. Biar saja, tanggungan rindu ini mencecap nadiku lamat-lamat hingga akan ada masa yang mempertemukan dengan amanat.

Ibu ... anakmu rindu. Merindukanmu di antara gelembung kesepian. Mencecap lejar yang menikam penuh hajar. Di bait-bait puisiku, tertulis cintamu yang akan abadi hingga masa terbenam. Pun rinduku terhanyut sajak yang memilukan.


Pacitan, 21 April 2020
13.40

Setangkai AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang