Melapangkan Hati

37 2 0
                                    

Aku masih menikmati sepiring rindu di tepian musim yang akan berganti. Ditemani kesepian dalam mengamati laju kenangan yang tak pernah ingin memudar dalam ingatan, dan masih tersimpan rapi di hati. Padahal segala timpa telah teruar menyakiti tanpa peduli. Namun, tetap saja hati memilih berdiam dan tinggal sebab telah tertanam kerinduan yang tak ingin pergi.

Perpisahan bukan untuk selalu disesali apalagi ditangisi. Bukan pula dipenjara sebagai sakit yang tak akan mati. Namun, dipelajari untuk tetap kuat dalam menghadapi segala jalan yang dilalui. Barangkali aku pernah menjadi orang egois dalam urusan hati. Meminta dipahami dan diguyurkan kebahagiaan agar terlepas oleh sepi. Padahal kesedihan yang hinggap ialah wujud bahagia tanpa disadari suatu saat nanti, sebab setelah ada sakit pasti akan ada proses dalam menyembuhkan diri.

Tak perlu lagi mencaci, hidup ini sangat berarti untuk dijalankan dengan segenap hati. Tuhan pun telah mengatur segala kehidupan manusia dalam kalam arsy. Maka hadapi dan jalani sebagai nikmat syukur.

Jika air mata pernah mengalir sebagai rasa tidak terima, maka bukan kesalahan yang mesti dicecar dengan kepiluan.  Sebab air mata hanya saksi atas rasa yang memdominasi hati. Aku percaya bahwa apa yang telah terjadi memang sudah takdir-Nya. Sudah sepantasnya hati melapang untuk tetap berjalan meniti kehidupan yang lebih baik lagi.

Meski kini sepi dan rindu tetap menggulung naluri, biarlah langkah arah yang menuntun untuk bangkit tanpa harus menyesali. Esok masih akan ada cerita yang menanti untuk dijalani segenap hati. Tebarlah senyum sebagai penguat yang tak akan terhenti.

Pacitan, 22 November 2019

Setangkai AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang