4. Menyesal

39 9 2
                                    

Muka keduanya sudah lebam, akhirnya Aruna dengan paksa memisahkan mereka.

"Lian cukup! Jangan diterusin!" seru Aruna sambil menerobos ke tengah-tengah.

Setelah terpisah Aruna langsung menarik sobatnya untuk pulang. Di perahu mereka tidak berhadapan seperti biasanya. Sesampai di pantai, Aruna akan membayar sewa perahunya, tetapi kalah cepat dari Brilian.

Lelaki itu meninggalkan gadis pincang yang mungkin sedikit malu karena tingkahnya tadi. Aruna segera menyusul.

Tak ada sepatah katapun yang mereka lontarkan. Setelah sampai di rumah Aruna, baru Brilian angkat bicara.

"Kamu punya hubungan spesial dengan dokter itu Run?" tanyanya.

"Li, nggak selalunya hubungan antara lelaki dan wanita itu spesial. Kita cuma rekan kerja, nggak lebih," ungkap Aruna akhirnya.

"Kamu dipekerjakan oleh dokter licik itu Run? Untuk apa kau mau saja?" tanya Brilian sinis.

"Dia bilang aku harus jadi asistennya selama seminggu, setelah itu baru ia akan men-scan kakiku," jawab Aruna apa adanya.

Brilian mengacak rambutnya seolah dia tengah frustasi.

"Runa, kamu itu polos atau bodoh sih?! Dengarkan aku! Dia itu seorang yang sempurna, punya harta, tahta, dan rupa, sedangkan kamu itu enggak. Apa dia bakal menerimamu?!!" seru lelaki yang sedang berapi-api.

"Oh begitu," jawab Aruna lesu.

Beberapa saat kemudian Brilian baru menyadari ucapannya. Lalu, apa bedanya ia dengan Dr. Bachtiar jika begitu? Bukankah ia juga orang yang banyak memiliki harta, tahta, dan rupa? Itu berarti sama saja ia meragukan Aruna untuk jadi sahabatnya.

Namun, untuk meminta maaf saat ini sudah terlambat. Aruna baru saja menutup pintu rumahnya dengan keras.

***

Keesokan harinya Aruna kembali ke Balai Kesehatan, ia melihat Dr. Bachtiar masih terluka. Ia berjalan menunduk ke hadapannya.

"Dokter, saya minta maaf soal kejadian kemarin," sesal Aruna.

Dr. Bachtiar tersenyum dan menjawab, "nggak papa kok, oh ya hari ini saya akan men-scan kakimu, dan lusa aku akan mengobatimu."

"Tapi dokter tidak melakukan hal ini karena kejadian kemarin bukan?" tanya Aruna cemas.

"Tidak, jangan khawatir," jawab Dr. Bachtiar menenangkan.

Aruna mengangguk dan berterimakasih.

Pukul 12:00 Dr. Bachtiar dan Aruna membicarakan hasil scan. Dokter itu membentangkan hasil.

"Berdasarkan hasil scan, tulang betis kamu sedikit bengkok, itu yang membuatmu pincang. Jadi,...."

"Permisi," ucap seorang dari luar.

"Siapa itu?" tanya Dr. Bachtiar.

"Kami dari desa Asri," jawab salah satu dari orang itu.

"Silahkan masuk." Dr. Bachtiar membolehkan.

"Kalian? Ada masalah kah?" tanyanya ketika dua orang masuk.

"Dokter mengenal mereka?" tanya Aruna.

"Oh, dia adalah tetangga rumahku, namanya Ryan dan Doni," jawab Dr. Bachtiar.

Aruna mengangguk paham dan tidak meneruskan karena khawatir akan terlihat ikut campur.

"Wabah penyakit di desa masih terus menyebar, tolong dokter bantu kami," pinta Ryan.

"Benarkah? Kalau begitu tunggu sebentar. Aruna kamu boleh pulang," jawab Dr. Bachtiar.

"Apa besok saya tetap berangkat dok?" tanya Aruna.

"Em ... kalau kamu sempat datang saja tak apa, besok aku sudah kembali," jawab Dr. Bachtiar sambil beranjak pergi.

Aruna pun juga pulang menuju rumahnya yang begitu sederhana.

***

Keesokan harinya...

Aruna terlambat berangkat karena tak ada sisa perahu yang buatnya harus menunggu.

Namun, ketika Aruna sampai ia tidak menemukan sosok dokter atasannya. Iapun menghampiri salah satu staf yang ia kenal.

"Kak Dyan, apa kamu melihat Dr. Bachtiar?" tanyanya.

"Emm, Runa kamu kena tipu sama Dr. Bachtiar, dia kabur kemarin," jawab Dyan hati-hati.

Aruna terkejut bukan main. Dia mundur beberapa langkah.

"Nggak mungkin, kamu bohong Kak Dyan. Tolong katakan yang sebenarnya," lirih Aruna.

"Aruna, aku nggak bohong. Istri dari ketua balai adalah orang asli desa Asri, kemarin beliau baru saja dari sana dan beliau berkata bahwa di sana tidak terjadi wabah apapun," terang Dyan.

Tak ada satu katapun yang dapat diucapkan Aruna. Ia hanya mencoba mengatur nafasnya yang mulai tak beraturan.

Ia akan pergi dari sana, tetapi ditahan oleh Dyan.

"Jika ada orang yang bilang bahwa ketua balai disuap agar kamu boleh dijadikan sebagai asisten dokter itu salah, awalnya Pak Ketua tidak mengizinkan Dr. Bachtiar untuk mengangkat asisten, tetapi karena ia memaksa maka dibolehkan dengan syarat dia harus berusaha memajukan balai ini bersamamu. Kita ingin menuntut Dr. Bachtiar, tapi sayangnya kita tidak punya bukti dan sekarang Pak Ketua sedang bermusyawarah pasal itu," terangnya lagi.

"Iya sudah cukup," pungkas Aruna sambil mengambil nafas dalam.

"Aku hanya ingin pulang. Tolong jangan cegah aku," lanjutnya.

Tanpa menunggu lanjutan, Aruna langsung pergi. Ia tak tahu harus bagaimana selain menangis dan mengurung diri di rumahnya.

***

Tiga hari tak bertemu Aruna, akhirnya Brilian khawatir juga. Diapun pergi pagi hari karena ini hari Minggu.

Ia mengetuk pintu dan memanggil nama sobatnya, tetapi tak ada jawaban. Padahal pintunya terkunci dari dalam. Iapun mendobrak dan tampaklah Aruna sedang termenung.

"Aruna, kamu kenapa?" tanya Brilian.

Aruna terisak sambil menatap lantai, ia tak mampu untuk berbicara.

"Katakan Run kumohon. Aku minta maaf jika perkataanku kemarin kemarin nyakitin kamu, aku benar-benar nggak sengaja," sesal Brilian.

Aruna menggeleng sambil mencoba menenangkan isakannya. Ia menatap sahabatnya.

"Harusnya aku yang minta maaf karena meragukan ucapanmu tentang Dr. Bachtiar, dia benar-benar pergi begitu saja. Aku merasa bersalah karena uang yang dikeluarkan untuk biaya lomba itu adalah uangmu," sesal Aruna.

"Kalau soal itu nggak perlu dipikirkan, kan kita taunya itu bukan penipuan. Lagian aku juga kan yang maksa kamu buat ikut, soal itu lupakan saja. Kamu sudah makan?" alih Brilian.

"Belum," jawab Aruna.

"Makan yuk," ajak Brilian.

Aruna tidak menolak hal itu, karena saat ini ia merasa perutnya perlu diisi.

Mereka pergi ke warung terdekat. Saat mereka selesai tiba-tiba...

"Aruna."

Seindah Pulau Origa [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang