6. Makan Malam

48 10 6
                                    

Pagi hari cuaca cerah, angin sepoi menerpa pedesaan yang cukup terpencil itu. Di sini suasana tidak mistis seperti desa terpencil pada umumnya, bahkan terkesan damai untuk ditinggali.

Pukul 06:30 orang desa sudah mulai beraktivitas. Aruna dan Mak Ijah masih duduk di dalam rumah.

Mak Ijah mengepang satu rambut puterinya sambil berbincang santai.

"Run, Mak dengar kamu dapat pengobatan gratis oleh dokter profesional, gimana? Sudah mulai kah?" tanya Mak Ijah.

Aruna tak menjawab. Hening.

"Run, kamu denger Emak bicara?" Mak Ijah memastikan.

Masih hening, padahal orang di depannya tetap duduk tegap. Mak Ijah berhenti mengepang dan memindah posisi duduknya dari kursi ke tepi puterinya.

Ibu mana yang tak terkejut melihat anaknya menangis padahal baru saja melihatnya tersenyum.

"Kamu kenapa Run?" tanya Mak Ijah cemas.

"Hiks...." Bukannya menjawab Aruna malah memeluk erat Emaknya sambil sesenggukan.

"Aruna, cerita dong. Kalau kamu gini Emak nggak tau kamu kenapa," pinta Mak Ijah.

"Aruna ditipu Mak, dokternya kabur beberapa hari yang lalu. Awalnya Aruna nggak berharap dapat pengobatan itu, tapi siapa saja difabel yang ada di posisiku pasti akan merasa berharap banget bisa dapat imbalannya. Apalagi Aruna pakai uang Lian buat ikut lomba itu, hiks," keluh Aruna.

"Udah nggak papa Run, lain kali jangan asal ikut kayak gituan. Terus kamu mau nebus uang Lian? Atau Emak aja yang tebus?" tawar Mak Ijah.

"Kata Lian nggak usah diganti uangnya, soalnya dia juga yang minta aku ikut lomba. Itu kata dia lho Mak bukan kata Runa," jawab Aruna sudah mulai tenang.

"Oh begitu, ya sudah. Kamu mau pulang atau gimana?" tanya Mak Ijah.

"Di sini aja dulu Mak, nanti selepas metik kelapa baru pulang," jawab Aruna.

Mak Ijah mengangguk setuju.

"Oh ya Mak, nanti sore aku diundang makan malam di rumah Lian," lanjut Aruna.

"Ya sana nggak papa, yang penting kamu jaga sopan santun di sana." Mak Ijah menyetujui sambil mengingatkan.

"Siap Mak," jawab Aruna.

Tak butuh lebih dari lima menit kemudian, mereka beranjak dari duduknya.

***

Pukul 18:00 Aruna bersiap pergi ke rumah sobatnya untuk memenuhi undangan makan malam.

Baju biru panjang menutup hingga atas mata kakinya. Rambutnya yang tebal dan bergelombang telah terlepas dari kepang, kini berganti hanya dengan diikat.

Saat bercermin di kaca usang lemarinya, pintu terketuk. Aruna bergegas membuka pintu. Rupanya Brilian datang lebih cepat dari dugaannya.

"Lian, hai," sapa Aruna.

"Hai, kamu sudah siap atau mau ke dalam lagi?" Brilian memastikan.

"Udah ayo," jawab Aruna.

Mereka menyusuri jalan penuh batu, kemudian menembus wilayah yang jarang terjamah oleh orang desa, kecuali oleh penduduk yang berprofesi di bidang meuble. Wilayah yang sebenarnya hanya ditumbuhi oleh pohon jati.

Cukup lama berjalan akhirnya sampailah mereka ke sebuah rumah yang dinilai paling mewah di pulau ini walau jika di perkotaan rumah itu terlihat biasa saja.

Rumah besar bercat putih dengan halaman luas dibatasi dengan pagar tembok dan gerbang berwarna kuning keemasan. Pos satpam berdiri kokoh di depan pinggir gerbang.

Terlalu mewah untuk diletakkan di desa terpencil tengah pulau kecil ini. Tentu saja rumah ini hanya untuk tempat tinggal Brilian, satu satpam dan dua ART, karena orangtua Brilian jarang pulang.

"Den Brilian, sama pacarnya ya," sambut Pak Sura, si satpam.

"Eh, ini Aruna Pak, lupa ya?" Brilian mengingatkan.

"Oh ini Non Aruna ya, wah sudah lama nggak ke sini, gimana kabarnya?" tanya Pak Sura.

"Iya Pak, alhamdulillah kabar saya baik," jawab Aruna sambil tersenyum.

"Kita masuk dulu ya Pak," pamit Brilian.

"Silahkan," jawab Pak Sura.

Aruna dan Brilian masuk ke rumah besar nan megah itu.

"Assalamu'alaikum," ucap mereka.

"Wa'alaikumussalam," jawab seorang wanita bergamis ungu dengan jilbab pasmina.

"Aruna ya?" Wanita itu memastikan.

"Betul Bu," jawab Aruna sambil mencium tangan wanita itu.

"Wah, ya ya lama banget nggak ke sini Run, yuk masuk. Saya sudah masak buat makan malam, Bapak juga sudah menunggu," ajak wanita bernama Miftahun Najah atau biasa dipanggil Bu Miftah.

"Terimakasih Bu," jawab Aruna.

Mereka bertiga menuju ke ruang makan yang terletak di rumah bagian belakang. Di sana terlihat seorang pria sedang membaca koran dengan cerutu di tangan kirinya. Kedatangan ketiga orang di ruangan itu membuatnya mengalihkan perhatian dari dua benda yang dipegangnya.

"Tamu kita sudah datang, silahkan duduk di sini Run," sambutnya ramah.

Aruna menyalami bapak dari Brilian sebelum akhirnya duduk.
Sebelumnya Aruna kikuk untuk duduk, apalagi ditambah dengan perginya Brilian ke kamarnya. Namun, lambat laun setelah berbincang sebentar dengan Bu Miftah dan seorang bupati bernama Arman Fauzi, akhirnya Aruna dapat menyesuaikan.

"I'm coming!!!" seru Brilian ketika kembali ke ruang makan.

Aruna berbisik, "ayam kambing? Dari kemarin Brilian terus bilang ayam, dia kenapa Bu?" tanyanya sungkan.

Sontak Bu Miftah terkikik mendengar itu. Setelah sadar apa yang terjadi ia meminta maaf.

"Kenapa Mah?" tanya Brilian.

"Iya, nggak enak tuh sama Runa," tambah Pak Arman.

"Sebelumnya saya benar-benar minta maaf. Begini Aruna, Brilian tadi bilang I'm coming, artinya saya datang, bukan ayam kambing," ralat Bu Miftah.

"Eh, emang kemarin Brilian bilang apa?" lanjut Bu Miftah.

"Mah udah yuk kita makan, Lian udah laper," pinta Brilian untuk mencegah rona pipinya berubah merah.

"Iya nanti masakannya keburu dingin," dukung Pak Arman.

Merekapun menyetujui dan Bu Miftah segera mengambilkan makanan untuk semua orang. Makan malam hari ini yang berlangsung di keluarga yang dipandang terhormat itu terasa lebih berisi karena kehadiran seseorang yang secara garis besar berbeda dari sisi duniawi.

Obrolan lebih meriah setelah acara makan selesai. Sering kali Brilian memberi candaan tentang Aruna, begitupun sebaliknya.

Ketika malam mulai larut Aruna akan berpamitan, tetapi Bu Miftah mencegahnya.

"Nanti sebentar ya, saya mau ambilkan sesuatu untukmu," pintanya.

Aruna tiba-tiba cemas, awan di depan rumahpun kelabu, jantungnya berdebar. Sebenarnya apa yang akan diberikan oleh ustadzah itu kondang untuk dirinya?

Seindah Pulau Origa [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang