Perjalanan waktu terus berlaku hingga sepuluh tahun kemudian berlalu. Dua pasang anak kembar tak identik telah tumbuh di bawah kepemimpinan Brilian dan Aruna. Kembar pertama diberi nama Hidayah Hanum dan Hidayah Hanif, sedangkan kembar kedua diberi nama Banu Nur Mushofa dan Bani Nur Musthofa.
Karier Aruna sebagai atlet juga belum kandas, bahkan ia menjadi traineer di Atletik Squad. Uang kejuaraan dan sedikit bayaran di Atletik Squad perlahan tapi pasti ia kumpulkan untuk modalnya menggapai cita-cita Rama tercinta.
Namun, sepertinya itu tidak akan terjadi karena akses perjalanan di pulau ini masih sulit. Akhirnya ia hanya membangun sebuah klinik yang diberi nama "Amanah" dengan modal tambahan untuk biaya membeli peralatan medis oleh Brilian, Shinta, Sisil, Bu Miftah, dan Vanissa.
Siang nanti peresmian klinik akan diadakan, sekarang Aruna dan Brilian berziarah ke makam Rama Said. Seperti yang dilakukan orang pada umumnya mereka berdo'a untuk jasad dan ruh Rama Said, setelah itu bak di depannya Aruna berucap untuk Sang Ayah Angkat.
"Rama, sekarang Aruna sudah sukses dan berhasil membangun sebuah klinik. Runa minta maaf karena tidak bisa mewujudkan impian Rama untuk membangun sebuah Rumah Sakit di pulau ini. Terima kasih udah mendidik Aruna menjadi wanita tangguh," ucapnya.
Mereka kemudian bangkit berpindah menuju makam orangtua kandung Aruna dan melakukan hal yang sama.
***
Di klinik Aruna mengitari bangunan bersama Hanum, puteri sulungnya. Sedangkan anaknya yang lain ada yang bersama Brilian dan salah satu pelayan dari keluarga Bu Miftah.
Mereka berhenti dan sampai di ruangan milik Aruna, sebagai dokter utamanya. Ia duduk di kursi kemudian melambai pada puterinya yang terpaku pada sebuah poster kesehatan.
"Sini Sayang Emak pangku," pintanya.
Anak berusia 8 tahun sepuluh bulan itu menurut. Ia duduk tenang di pangkuan Aruna. Berbeda halnya dengan tiga anaknya yang lain, begitu atraktif. Hingga kadang Brilian dan ia kewalahan.
"Mak nanti berarti udah nggak ke rumah Maman Reza ya," tebak Hanum.
Aruna terlihat lesu dan risau, ia mengusap pipi chubby puterinya.
"Emak tetep bakal ke sana setiap Jum'at pagi, nanti hari Sabtu Mak udah pulang kok. Kan di rumah ada Rama Lian." Aruna berusaha memberi pengertian.
Tak sempat Hanum menjawab Brilian datang bersama para anaknya.
"Kak beli es kelapa yuk," ajak si bungsu, Bani.
Hanum terlihat berbinar kemudian mengangguk. Mereka berempat pergi ke luar klinik.
Brilian menghampiri Aruna yang tengah membaca majalah, ia mengelus kepala Aruna yang terbalut kerudung abu-abu.
"Sayang, nanti malam kita makan di luar aja ya," pinta Brilian.
"Kenapa?" tanya Aruna.
"Biar kita bisa berduaan," jawab Brilian mengerjapkan matanya.
Aruna mendengus sebal, ia menatap Brilian.
"Akak, terus anak kita mau ditaroh mana?" Ia mengingatkan.
"Huft, serasa masih baru aja ya. Eh kapan keluarga ke sini ya? Syukurannya jam berapa sih?" tanya Brilian.
"Dua jam lagi, paling sebentar lagi. Sabarlah Akak," pinta Aruna.
Baru saja dibicarakan, mereka semua datang.
"Assalamu'alaikum," sapa mereka.
"Wa'alaikumussalam," jawab Aruna dan Brilian.
"Lha, Kak Nissa, Kak Radit sama Emak mana?" tanya Fida.
"Kak Vanissa kayaknya sibuk sama pemetik kelapa, Emak kan udah pensiun hehe," jawab Aruna.
"Ooh iya. Kita tunggu dulu," ucap Fida.
Aruna melihat Sisil yang masih setia menjadi manager Liliany alias Shinta walau sedang hamil besar anak keduanya.
"Kamu sih udah berapa bulan kandungannya?" tanya Aruna.
"Sembilan bulan pas lusa," jawab Sisil yang tadinya melihat jadwal Shinta yang cukup padat.
"Jangan terlalu dikuras tenaganya, kasihan yang di dalam. Shin jangan beri beban berat buat managermu itu ya," nasihat Aruna.
"Iya Kak," jawab Shinta.
"Kan kerja aku kayak biasa, tapi kalau mau ditambah gajinya juga nggak papa kok." Sisil memberi kode.
"Beres dah, naik berapa? Sepuluh ribu? Lima ribu? Asalkan jangan di atas dua puluh ribu ya hehe," canda Shinta.
Sisil memutar bola matanya seolah belum terbiasa dengan sifat bosnya.
"Assalamu'alaikum," sapa dua orang di depan pintu disusul enam anak di belakangnya, empat milik Aruna dan dua milik mereka.
"Wa'alaikumussalam," jawab semua.
"Lha Emak kok nggak ikut Kak?" tanya Andra.
"Katanya nggak mau, pinggungnya encok," jawab Vanissa.
Mereka ber-oh ria kemudian langsung duduk melingkar untuk menunggu sesepuh yang akan memimpin syukuran. Mereka berbincang santai, tak ada satupun orang yang bermain Handphone, bahkan para anak kecil juga diikut sertakan. Ya, begitu cara mereka membuat moment kekeluargaan dan persahabatan semakin terasa.
***
Tamat
Ditulis terakhir hari Kamis,
23 April 2020 pukul 21:49Dipublish
Senin 27 April 2020Tertanda
Mila Muliati
KAMU SEDANG MEMBACA
Seindah Pulau Origa [Selesai]
Teen FictionCerita ini hanya fiksi belaka, bila ada kesamaan tokoh atau tempat itu hanya sebuah kebetulan *** Tentang sebuah hubungan antara kedua insan yang memiliki keadaan berbanding terbalik. Aruna, gadis pincang dengan keadaan tak memiliki banyak harta, ta...