7. Hadiah Istimewa

45 10 2
                                    

Bu Miftah masuk ke sebuah ruangan besar dan kembali dengan sebuah kotak berwarna hijau muda dan selembar kertas di genggamannya.

Ia duduk di sebelah Aruna yang terlihat kembali gugup. Di depannya Pak Arman dan Brilian juga memperhatikan gerak-gerik Bu Miftah.

"Aruna, ini oleh-oleh saya kemarin dari luar kota buat kamu, semoga bisa bermanfaat ya," ucap Bu Miftah sambil memberikan kotak itu.

"Wah, terima kasih Bu. Insyaa Allah saya akan berusaha menjadikan ini bermanfaat," jawab Aruna sambil menerima.

Beberapa saat kemudian wanita berwajah awet muda itu menatap suaminya yang ditanggapi anggukan.

"Aruna," panggil Bu Miftah seiring bersentuhnya telapak tangan ke punggung tangan sobat anaknya.

Aruna terpengarah dan menjawab, "iya Bu."

"Saya dan Pak Arman berniat untuk menyekolahkanmu, apa kamu bersedia?" tawar Bu Miftah.

Aruna terperanjat mendengar hal itu, ia tak pernah mengimpikan hal sebesar itu walau memang pernah terbesit dahulu ketika baru beberapa bulan ditinggal orangtuanya.

"Anu Bu, Pak. Maaf saya rasa akan sulit, saya bukan anak pintar, usia saya juga sudah terlalu lewat untuk mulai sekolah," keluh Aruna.

"Ehm Aruna, sekolah itu proses belajar, kalau anak itu udah pintar maka sudah nggak perlu sekolah lagi. Menuntut ilmu juga nggak ada batasannya, untuk menuju ke SD kamu emang sudah lewat usia, tapi kamu juga bisa melalui Kejar Paket A jika ingin menyetarakan pendidikan anak SD, begitu. Lagipun saya sebagai pemimpin kabupaten nggak mau ada rakyat yang nggak menempuh pendidikan," terang Pak Arman.

Aruna mendengarkan sambil menimbang, ia rasa sudah begitu banyak hal yang diberi oleh keluarga Brilian, tetapi ia belum pernah sekalipun membalasnya.

"Bagaimana Aruna? Kamu mau?" desak Pak Arman.

"Maaf Pak, apa saya tidak merepotkan?" tanya Aruna.

Pak Arman sejenak tertawa kecil.

"Jika saya repot, kenapa saya bilang ini ke kamu? Tentu saja tidak Aruna," jawab Pak Arman enteng.

"Jadi, bagaimana? Kamu mau ya," pinta Bu Miftah terus.

"Iya Bu, Pak, saya mau," jawab Aruna.

"Syukurlah kalau begitu, berarti mulai Senin besok kamu sekolah ya, nanti Brilian kasih tau di mana tempatnya. Sekolah kalian searah kok," terang Bu Miftah.

"Baik Bu," jawab Aruna.

"Oh ya, maaf Bu saya pamit dulu sudah larut soalnya," lanjutnya.

"Aku anterin ya Run," srobot Brilian.

"Iya Run, ini sudah malam. Nggak baik anak gadis keluar rumah malam sendiri," dukung Pak Arman.

Belum sempat Aruna menjawab, Pak Sura masuk memberi laporan.

"Maaf Pak, saya minta paku ada nggak?" tanyanya.

"Malam begini cari paku buat apa Pak?" tanya Pak Arman.

"Anu pos satpam gentengnya bocor jadi basah, saya mau benerin," terang Pak Sura.

"Lha emang hujan Pak?" kali ini Brilian yang berkata.

"Iya Den," jawab Pak Sura singkat.

"Begini saja Pak, Bapak tidur di kamar tamu aja ya. Besok saya panggilkan tukang sekalian buat benerin genteng dapur." Pak Arman memberi saran.

"Oh baik Pak, terima kasih. Kalau begitu saya permisi," ucap Pak Sura sambil berlalu.

Pak Arman mengangguk, kemudian beralih pada Aruna.

"Di luar hujan Run, kamu nginep aja ya," pintanya.

Aruna mendadak tergagap untuk menjawab.

"Udah nggak papa Run, ayo." Bu Miftah menarik Aruna.

Di sebuah ruang besar, Aruna dipersilahkan. Kamar berwarna ungu berhias lampu kerlip putih bak mutiara. Di pojok terdapat sebuah lemari kecil, meja, dan di tengah terdapat ranjang yang muat untuk dua orang. Di ruangan ini juga terdapat AC yang membuat seisi ruangan terasa dingin.

"Kalau AC-nya mau dimatiin remotenya ada dalam atas lemari, kalau masih dingin selimutnya dipakai aja," ucap Bu Miftah sebelum pergi.

"Terima kasih Bu," jawab Aruna sambil masuk.

Ia mengunci pintu dan naik ke ranjang empuk bersprai karakter kartun Frozen.

**"

Keesokan harinya...

Aruna sama sekali tidak bisa tidur karena suhu ruangan yang dingin. Ia tak ingin menyentuh barang yang ada di sana karena takut rusak. Ia bahkan tak memakai selimut karena terbiasa menggunakan kain jarit saat tidur.

Saat matanya belum terpejam semalam suntuk, seseorang mengetuk pintu.

"Permisi," ucapannya.

Aruna bergegas membuka pintu dan melihat seorang ART tersenyum di depannya.

"Maaf, Bu Miftah meminta saya untuk membangunkan Nona agar ikut salat berjamaah." Ia memberi tahu.

"Oh ya, baik Mbak. Permisi," pamit Aruna.

Ia pergi setelah diberi tahu letak tempat wudhu dan mushola.

Pagi ini Aruna kembali makan bersama di rumah Brilian dan baru bisa pulang bersamaan dengan berangkatnya Brilian ke sekolah.

"Bagaimana tidurmu tadi malam Run?" tanya Brilian terkekeh.

"Ah, sangat nyenyak," jawab Aruna sambil menutup mulutnya yang menguap.

"Hm aku sangat percaya, haha," canda Brilian.

Aruna sama sekali tidak menanggapi ucapan sobatnya.

Sampai di rumah, Aruna masuk ke kamarnya dan berbaring. Kemudian, tak terasa bahwa ia langsung menghampiri dunia mimpinya.

***

Pukul 10:00 Aruna baru bangun dan memutuskan untuk tidak pergi ke rumah Mak Ijah. Saat akan mandi matanya terpengarah pada sebuah kotak berwarna hijau pemberian Bu Miftah.

Ia mengambilnya dan membuka perlahan balutan kertas karton yang melapisi sebuah kardus. Saat dibuka, tampaklah sebuah gaun sederhana berwarna putih dan bunga berwarna-warni sepanjang mata kaki dan berlengan hingga siku-siku, juga sweater tebal berwarna hitam polos. Aruna berdecak kagum.

"Alhamdulillah, terima kasih Bu Miftah," gumamnya.

Ia tampak berseri melihat hadiah istimewa itu, walau sebenarnya ia tak tahu kapan ia bisa mengenakan itu.

Seindah Pulau Origa [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang