Gemuruh tepuk tangan terdengar meriah di sepanjang Pantai Tirta Saraswati. Aruna berhasil melewati tugu batu dengan mulus.
"Selamat Aruna, kamu hebat!!" seru Brilian tanpa melirihkan tepuk tangannya.
Begitu juga dengan para penonton yang menyerukan nama Aruna.
***Ini adalah hari Minggu, tepatnya tiga hari pascalomba. Aruna dinobatkan menjadi juara yang mendapat pengobatan gratis.
Hari ini Brilian membantu Aruna membawakan seranjang buah kelapa kepada Mak Ijah, majikan sekaligus ibu angkat Aruna.
"Run, aku minta maaf ya besok aku nggak bisa nemenin kamu ke Balai Kesehatan soalnya aku sekolah. Tapi aku janji pulang sekolah bakal ke sini, siapa tau hasil scan-nya udah jadi," sesal Brilian.
"Nggak papa, lagian nggak sampai sepuluh km perjalanan kaki kok," jawab Aruna.
"Iya sih, tapi kan Balai Kesehatannya ada di pulau seberang, lagian kenapa sih, nggak ada Balai Kesehatan di sini," gerutu Brilian.
"Mana kutahu," jawab Aruna.
Percakapan itu seolah terhenti begitu saja, Brilian masih saja bersungut dalam hati, sedangkan Aruna merasa biasa saja, toh itu maunya yang akan ngobatin.
Perjalanan itu tetap berlanjut meski dengan keheningan yang cukup lama.
***Keesokan harinya Aruna pergi ke Balai Kesehatan dengan menyewa perahu kecil, dayung perlahan menyibak air laut.
Jika berbalik dari tengah laut, terlihat pantai dan sebagian pulau yang pesonanya menawan. Pulau Origa adalah pulau yang sangat kecil. Di dalamnya hanya ada lima desa yang dijadikan satu kecamatan. Penduduknyapun tidak melebihi tiga ribu jiwa.
Hanya tiga puluh menit yang dibutuhkan untuk menyeberang laut menuju pulau yang berbeda, tetapi masih satu kabupaten itu. Balai Kesehatan masih ditempuh kurang lebih 1km perjalanan kaki.
Sampai di sana Aruna mengeluarkan dua barang yang ia bawa selain uang, yaitu sertifikat dan surat pernyataan. Salah satu staf menyambutnya.
"Selamat datang Nona, ada yang bisa saya bantu?" tanyanya.
"Maaf, saya ingin bertemu dokter yang bersangkutan dengan Lomba Pencarian Bakat Difabel Pulau Origa," pinta Aruna.
"Oh, Beliau sedang diskusi dengan ketua balai, mungkin masih sedikit lama, mau menunggu atau pulang terlebih dulu?" tawar staf yang berpin nama Dyan Angganingrum.
"Saya menunggu saja," jawab Aruna.
"Baik kalau begitu mari ikut saya ke ruang tunggu," pinta Dyan ramah.
Mereka berjalan menuju satu sudut ruang di balai itu. Di depannya ada satu ruang bertirai putih yang tengah memperlihatkan bayangan keseriusan diskusi kedua insan. Terdengar beberapa kali isi diskusi mereka, meski samar-samar.
"Ayolah Pak, hanya seminggu saja. Saya mohon dengan sangat, tolong."
"Tidak bisa, ini sudah peraturan. Kamu bisa ambil salah satu dari orang sini."
"Sulit lah Pak, saya mohon kali ini saja."
"Oke oke saya akan menyetujuinya dengan satu syarat, yaitu...."
Percakapan itu semakin samar dan berujung tak terdengar. Tak berselang lama seorang pria berumur kira-kira 45 tahun keluar dari balik tirai dan melempar senyum pada Aruna.
"Nona, silahkan masuk, Dr. Bachtiar sudah dapat ditemui." Dyan mempersilahkan.
Mereka masuk ke ruangan bercat biru awan. Terlihat seorang lelaki berhem putih, bercelana hitam, dan berdasi cokelat, rambutnya rapi, usianya berkisar 20 tahun. Cukup genius jika benar-benar profesional.
"Permisi dok, ini pemenang ajang pencarian bakat difabel," kata Dyan.
"Oh, iya silahkan duduk. Tolong tinggalkan kami," jawab Dr. Bachtiar.
Dyan keluar diiringi dengan duduknya Aruna.
"Namamu Aruna?" tanya Dr. Bachtiar.
"Betul dok, Titis Aruna Iskandarsyah," jawab Aruna.
"Kamu difabel yang hebat, kemarin nunjukin bakat apa?" tanya Dr. Bachtiar lagi.
"Lompat batu khas Pulau Origa setinggi 2,1 meter," jawab Aruna.
"Benarkah? Saya kalah dong kalau begitu," canda Dr. Bachtiar sambil tertawa kecil.
"Hehe, nggak juga. Dokter bisa sekolah tinggi, mencapai cita-cita, dan mengabdi pada masyarakat," puji Aruna.
"Semua orang hebat dalam bidangnya masing-masing Aruna," hibur Dr. Bachtiar.
"Iya dok," jawab Aruna.
"Maaf sekali Aruna, apa kakimu pincang?" tanya Dr. Bachtiar hati-hati.
"Betul dok," jawab Aruna sambil menatap nanar kakinya
"Sejak kapan kamu gitu?" tanya Dr. Bachtiar.
"Sejak saya usia setahun, waktu itu orangtua saya nggak punya uang buat meriksain keadaan saya," terang Aruna.
"Nah, Aruna bisakah kamu tunjukkan sertifikat dan surat keteranganmu? Saya akan mengeceknya," pinta Dr. Bachtiar bersama senyum ramahnya dengan tujuan agar Aruna tidak terlalu bersedih.
"Ini dok, silahkan." Aruna menyerahkan barang yang diminta oleh Sang Dokter.
Dr. Bachtiar meneliti sertifikat dan surat yang diterimanya. Ia mengangguk pelan.
"Baik, saya akan mengecek keadaan kakimu, tapi...."
KAMU SEDANG MEMBACA
Seindah Pulau Origa [Selesai]
Teen FictionCerita ini hanya fiksi belaka, bila ada kesamaan tokoh atau tempat itu hanya sebuah kebetulan *** Tentang sebuah hubungan antara kedua insan yang memiliki keadaan berbanding terbalik. Aruna, gadis pincang dengan keadaan tak memiliki banyak harta, ta...