14. Terungkap

33 9 6
                                    

Shinta dan Brilian berhadapan dengan wajah serius, bedanya Brilian mutlak dengan keberaniannya, sedangkan Shinta hanya mukanya tetapi hatinya khawatir tak karuan.

"Ada apa ya Kak Brilian manggil aku?" tanya Shinta mengawali.

"Aku pengin ke rumahmu nanti sore," pinta Brilian.

"Ngapain?" tanya Shinta heran.

"Nanti kamu juga tau, aku cuma minta izin. Ya, sekarang aku pulang dulu," jawab Brilian sambil beranjak.

"Gimana Kak Brili tau rumahku?" cegah Shinta.

"Anit tau rumahmu, dia ngasih tau alamatmu. Oke aku sibuk, ada banyak urusan," pungkas Brilian.

Shinta memicingkan mata mengantar kepergian Brilian, perasaannya terasa tak enak. Namun, cepat-cepat ia hilangkan pikiran itu setelah Aruna datang.

"Yuk Run kita pergi, nanti keburu sore," ajak Shinta.

Aruna pun mengangguk dan mereka pergi ke rumah Shinta. Mobil sekolah melaju di satu-satunya jalan yang beraspal di Pulau Origa sampai di pantai, dilanjutkan menaiki perahu dayung. Mereka menikmati angin sepoi yang menerpa, sambil berbincang.

"Shin, beberapa hari yang lalu kok kamu pingsan?" tanya Aruna.

Shinta menatap air laut dengan nanar.

"Ada apa Shin?" tanya Aruna lagi.

"Dulu ayahku dan ibuku menikah karena NBA, untuk menutup mulut ibuku, Ayah menikah siri dengan Ibu. Kata Ibu, rumah awalnya ada di desa. Namun, setelah itu ia dipindah ke rumah pedalaman hutan, walau keadaan materi lebih baik tapi kadang aku dan Ibu sering terluka fisik dan batin. Ayah selalu memukuliku jika tidak bertindak sesuai ekspetasinya, dan menampar Ibu berkali-kali jika ia tidak melayani ayahku dengan super perfect. Saat itu aku ingin kabur dari rumah karena sudah sangat lelah, tapi di perjalanan aku keburu pingsan," urai Shinta dengan sendu.

Air matanya meleleh dan jatuh ke arus laut yang tenang membawa mereka. Shinta menggigit bibirnya yang bergetar, dayungnya pun ia letakkan di tengah perahu.

Ia menutup mukanya yang terlanjur tak kuat menahan emosinya, tangisnya pecah dengan deras. Aruna mengelus pundak Shinta, ia tak berani menjawab curahan hati teman kelasnya. Setelah itu tak ada lagi dialog antara mereka.

***

Butuh waktu dua jam berjalan untuk mencapai rumah Shinta. Mereka memasuki rumah setelah mengucap salam. Ibu Shinta menyambut kedatangan mereka.

"Adek yang kemarin sempat ke sini ya?" tanyanya memastikan.

"Iya Bu, nama saya Aruna," jawab Aruna sambil mencium tangan Sang Ibu.

"Oh ya, silahkan duduk Aruna. Nama saya Tari," perintah Bu Tari.

Bu Tari pun duduk di sebelah Aruna, sedangkan Shinta pergi ke belakang.

"Dek Aruna ini anak mana?" tanya Bu Tari.

"Saya dari desa Bandar, Pulau Origa," jawab Aruna.

"Wah, jauh banget, ada tugas kelompok ya?" tanya Bu Tari.

"Iya Bu," jawab Aruna singkat.

Pembicaraan mereka terputus saat Shinta datang dengan membawa se-teko teh manis dan kue kering.

"Ini Run, dimakan." Shinta mempersilahkan.

"Makasih Shin, Bu," jawab Aruna.

Tak lama mereka berjamu kerja kelompok pun dimulai. Mereka mencoba berdiskusi masalah Integrasi Nasional.

Seindah Pulau Origa [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang