07# Cerita

995 153 4
                                    

▪️▪️▪️

"Anak itu muncul di jendela meski tak pernah ketahuan kapan masuknya," suara kompor yang dinyalakan menggema, seolah memberi jeda bagi Jihyo yang sejak tadi mengumandangkan cerita. Wanita beranak satu itu tampak serius, walau kedua tangannya dengan cekatan terus saja mengerjakan apa yang bisa diraihnya. Sang ibu seperti sudah mengerti, mungkin memaklumi tepatnya, hingga ia hanya diam dan melirik sesekali sebagai respons agar anak perempuannya ini tak sakit hati.

"Astaga!" pekikan itu membahana seiring dengan suara cukup nyaring karena sebuah pisau terjatuh.

"Ya Tuhan," kali ini giliran nyonya Jeon, ia bahkan tak peduli semua sayuran yang telah dicucinya berceran di lantai sekarang.

"Tzuyu kau melamun?" tanya Jihyo meraih tangan Tzuyu yang berlumuran darah sekarang, gadis tinggi itu hanya diam, meringis melihat warna merah telah membubuhi tangannya dan membuat lantai ikut ternoda.

Jika saja bukan Jihyo yang mendapati hal ini mungkin saja Tzuyu juga takkan sadar bahwa tangannya terputus karena teriris pisau.

Jihyo mendesis, melihat darahnya membuat ia tahu bahwa luka Tzuyu cukup dalam, ia masih bergidik ngeri jika saja tak segera melempar pisau yang Tzuyu pegang untuk mengiris wortel yang justru malah mengiris telunjuknya sendiri.

"Apa yang kau pikirkan?" tanya Jihyo lagi kembali menarik Tzuyu dari kesadaran, gadis itu tak menjawab, hanya menggeleng lemah tanpa memberi kepastian. Jihyo dan ibunya saling melirik, bukan rahasia lagi jika beberapa minggu ini sikap Tzuyu memang sangat berbeda.

Setiap hari, gadis yang dinikahi putra bungsu keluarga Jeon itu terlihat menyedihkan dengan linglung yang luar biasa.

"Jihyo, bantu Tzuyu untuk mengobati lukanya," perintah nyonya Jeon membuat Jihyo mengangguk, lalu menarik lembut tangan Tzuyu untuk duduk di kursi kayu yang ada di depan pantry.

"Tunggu di sini," titah Jihyo menelisik wajah Tzuyu yang kembali terdiam, gadis itu mengangguk. Tzuyu menatap lekat jemarinya yang terus meneteskan darah.

Ia sedikit terkejut, tapi hal yang membuatnya lebih terkejut adalah--kenapa bisa ia tak merasakannya?

Jika saja Tzuyu amnesia, ia tentu takkan mengingat bahwa dirinya sangatlah cengeng, jangankan luka sebesar ini, mendapat memar karena terkena bola saat main voli pun pasti ia akan menangis.

"Apa tidak sakit?" Tzuyu kembali terkesiap karena pertanyaan Jihyo, sekilas ia menatap kakak iparnya itu yang menatap wajah Tzuyu heran sebelum akhirnya menjatuhkan pandangan pada jemarinya yang telah dibersihkan dari darah.

Lagi, ia kembali melamun dan tak merasakan apa pun, padahal jelas sekali diingatannya bahwa akan terasa sangat ngilu ketika luka itu bersentuhan dengan disinfektan.

Tzuyu memilih diam, dengan terus berpikir hal-hal apa yang entah ia pikirkan, menatap Jihyo yang kini mulai membalut tangannya dengan kasa karena lukanya cukup dalam jika hanya mengandalkan balutan plester.

"Sudah selesai," tandas Jihyo sambil memasukkan alat yang ia pakai dalam kotak putih itu, Tzuyu meraih tangannya yang terluka.

"Terima kasih,"

"Hm, lebih baik kau istirahat saja, Tzuyu. Sepertinya kau sedang tidak baik-baik saja, biar aku dan Ibu yang melanjutkan memasak,"

Portrayal [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang