Terima kasih, Cuaca

137 40 27
                                    


Jika kamu berpikir aku ada dimana, yang jelas diriku selalu disini. Entah sampai kapan, kamu akan menghilang, dan entah sampai kapan diriku akan menanti. Jika aku ingat - ingat, kita bertemu disini ketika hujan mengguyur kota ini. Kau datang dengan pakaian yang kuyup. Badanmu pada saat itu sangat kedinginan, tetapi kau tidak ingin duduk. Entah karena dirimu sungkan atau mungkin kau malu dengan pakaianmu yang kuyup. Aku sudah menawarkanmu untuk duduk, tapi kau hanya bungkam. Aku pikir suaraku saja yang kurang lantang, tapi sepertinya suara hujan ini yang sangat bergemuruh.


Aku memperhatikanmu heran, kamu selalu memandang hujan dan seolah menunggu notifikasi yang muncul dalam ponselmu. Kupikir kamu menunggu seseorang yang akan menjemputmu, tapi ia tak kunjung datang. Kutawarkan kau untuk duduk karena aku tidak tega melihat kau tetap berdiri. Tetapi kau tetap bungkam.

Seolah kau sedang termenung, memikirkan seseorang. Kutawarkan lagi dengan suara yang sangat lantang, dan kau tetap tidak menoleh kearahku. Aku sudah menyerah. Tidak, aku hanya menjaga suaraku untuk tidak dibuang sia-sia hanya untuk menyuruhmu duduk. Aku berhenti memandangimu. Aku lebih terfokus kepada suara hujan dan laptop yang ada di depanku. Aku memilih melanjutkan tugasku daripada menyuruhmu duduk.

Kau tetap berdiri memandangi alun - alun kota yang sedang diguyur hujan. Kepalaku seketika berpikiran tentang dirimu, aku tidak bisa fokus melanjutkan tugasku. Aku beranjak dari tempat dudukku dan menyentuh bahumu. Kamu seketika terkejut ketika kusentuh. Aku menawarimu untuk duduk sambil bercakap-cakap. Ia tidak merespon kalimatku tetapi ia beranjak ketempat duduk.

Pakaiannya sangat kuyup kuyakin kamu sangat kedinginan, tetapi dalam wajahmu menggambarkan kau masa bodoh dengan pakaian basah dan hanya berharap seseorang menjemputmu.


Ponsel yang kau genggam ternyata sudah tidak menyala, entah karena kehujanan atau kau sengaja mematikannya. Kau tidak mengeluarkan satu atau beberapa kata.

Tingkahmu sama seperti kau saat berdiri. Diam, terbungkam, termenung, menggenggam ponsel yang mati itu. Aku mencoba membuka percakapan, kau tetap tidak merespon kalimatku. Aku tetap memandangimu, kulihat kau menggigil kedinginan. Kuberikan jaket yang kukenakan.

Jujur walaupun kita tidak saling kenal, aku tidak bisa berpura - pura tidak peduli terhadap seseorang. Memang sikapku begitu. Kamu sempat menolak, tetapi aku memaksa. Kamu tidak melihatku, kanu hanya menggelengkan kepala yang artinya menolak.


Aku sedikit jengkel terhadap sikapmu, aku langsung mengenakan jaket itu kepada badanmu. Maaf, jika ini memang tidak sopan karena memang aku sangat kesal terhadap sikapmu yang sangat dingin dan juga keras kepala.

Kamu mulai menatapku dan mengucapkan terima kasih. Aku bersyukur kau melihat wajahku, kupikir otakmu sudah membeku sampai - sampai kau hanya melamun. Hanya kata itu saja yang kamu ucapkan, dan suasana kembali menjadi hening.

Selokan disekitar alun - alun ini sudah penuh sehingga air yang ada dalam selokan tersebut muncul kepermukaan. Ini banjir batinku, aku tidak tahu harus bagaimana. Aku bisa saja langsung pergi berlari meninggalkan tempat ini, tapi aku tidak bisa. Karena aku membawa laptop dan alat elektronik lainnya.


Hujan semakin deras. Kita terjebak. Kita bukan hanya berdua. Aku sadar, ada beberapa pedagang yang ikut berteduh disini. Pedagang itu menawarkan aku kopi, dan aku membeli dua. Untukku dan juga untuknya.Karena kupikir minuman yang hangat sangat dibutuhkan pada saat situasi seperti ini.

Dia mengambil kopi yang kuberikan dan mengucapkan terima kasih. Lagi dan lagi, suasana kembali menjadi hening. Hanya obrolan pedagang saja yang aku dengar dan sepertinya ia juga.

V O N : Hidup atau HarapanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang