Asing

14 12 0
                                    

            Terhempas dari keramaian dan hujan yang lebat, kini mereka menyambut dengan senangnya. Angin yang begitu sangat kencang benar – benar membuat tubuhku menggigil kedinginan. Hotel yang beradius 4km membuat ingin segera pergi ke perapian. Menghangatkan tubuh didepan tungku api.

Esok hari mungkin aku nggak akan ikut bareng mereka kali ya. Rasanya nggak enak badan batinku. Kulihat wajah mereka, beberapa dari mereka memasang wajah bersyukur, bahagia, marah, dan juga sedih. Kenapa dengan Pilo? bukan harusnya ia bahagia ya? Batinku lagi. Pilo seperti terkena masalah. Mungkin ia dimarahi oleh yang lain, ataupun hal yang lain. Kudiamkan saja dia, dan nanti akan kutanya ketika di hotel nanti.

Didepan sana sudah ada mobil yang menunggu. Wajah orang itu tak kukenal sama sekali. Apa itu orang yang dijanjikan oleh Riku selain Yogi? Tapi bisa jadi saja. Namun sesaat sebelum naik mobil, terdengar bisikan dibelakangku.

"Lain kali, ogah banget dah nyariin mereka lagi. Biarin aja mereka nyasar." Suara samar – samar yang kuyakin itu adalah suara Lio.

Hujan enggan untuk berhenti. Banyak orang – orang yang sedang berteduh menunggunya berhenti. Setidaknya ia harus sadar, kapan waktunya untuk berhenti. Jika terus dipaksakan, sesuatu pasti akan terjadi. Tak bisa dipungkiri.

Kuingat sebuah kejadian tadi yang sedikit tersisa dalam pikiranku. Berandai – andai mulai terjadi. Andai jika tadi pilih belok ke kanan, pasti akan ketemu sama wanita itu. Begitulah angan – angan penuh harapan itu. Tak bisa berpikir, semuanya sesak. Dalam pikiranku, maupun batinku. Rasanya ingin menangis, namun terdengar isak tangis orang lain. Pilo. Kutatap wajahnya dengan penuh keheranan. Hari yang dinanti – nanti, hari yang dapat memberinya kebahagiaan, hari yang ingin ia temui, hari dimana kedua belah pihak disatukan, kini menjadi hari yang amat buruk untuk dikenang, baginya.

"Pil, tunggu disini sama Nam ya. Kita balik duluan. Ini udah penuh sama oleh – oleh. Jadi kalian nunggu dulu sebentar." Ucap Ipat sebari memasuki mobil itu.

Kita berdua hanya mengangguk dan tak tahu harus bagaimana lagi. Kepalaku terasa nyeri, dan juga terasa seperti dipukul oleh satu benda yang mempunyai daya hantar yang sakit. Mereka berangkat, meninggalkan kita berdua. Dan mereka lupa akan satu hal. Cara berlindung dari hujan adalah berteduh. Kita berdua enggan untuk berteduh. Mereka juga lupa, seharusnya mereka memberikan payung yang mereka bawa untuk melindungi kita berdua dari anak panah yang berupa air. Walaupun sering terkena, namun rasanya tak sakit. Tapi jangan salah, walaupun itu memang berasa tak sakit tapi dapat membuat kita sakit.

Hening, hanya suara anak panah saja yang turun dari langit saat itu. Seolah ada seorang prajurit yang sedang memerangi bumi. Melontarkan anak panahnya yang ujungnya dibakar oleh air. Bukan hanya ujungnya yang terbakar, tapi seluruhnya. Itulah anak panah yang berupa air.

"Pil... gimana tadi?" tanyaku yang menahan kedinginan sekaligus membuka obrolan.

Mulutnya tak berkutik sekalipun. Seolah – olah mulutnya beku, tatapannya tertuju pada sebuah pohon yang tak dibasahi hujan.

Pohon itu banyak sekali disinggahi oleh beberapa orang. Tapi mereka singgah untuk berteduh, bukan singgah seperti yang Pilo harapkan. Pandanganku seperti sama dengan pandangan Pilo. Manusia sering menebang pohon dan tak pernah merawatnya, tapi mereka berteduh disana. Pohon yang tak dibasahi oleh air hujan, sebuah hal aneh bagiku.

"Pil, tadi nggak sengaja kedenger kalau kamu nangis. Bener ngg-." Kalimat yang tak kuselesaikan karena diriku terjatuh, tergeletak, dan tak sadarkan diri.

Anak panah yang melesat memang indah, namun anak panah yang salah sasaran membalikkan semua hal itu.

*****

V O N : Hidup atau HarapanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang