Hilang

13 12 0
                                    

            Hujan menyirami seisi kota ini. Pohon – pohon begitu menampakkan kegembiraan. Dikota lain mengkhawatirkan sebuah bencana yang siap terjadi jika terus hujan. Digedung sate ini, tak ada kehadiran ataupun bayangan dirinya. Semuanya samar – samar tak nampak. Hilang.

Tiga Minggu tepatnya setelah ia mengalami gangguan pada tubuhnya. Ia tak pernah datang kembali. Ingin rasanya untuk pergi kerumahnya atau kerumah sakit untuk mencari tahu kabarnya. Diriku sempat demam selama menunggunya karena tertancap ratusan lebih anak panah. Mungkin wanita itu pernah kemari sesaat diriku tumbang. Tetapi, tak terdengar seseorang mengetuk pintu indekos ku yang kuharap dirinya.

Semua yang dapat menyerap air merasa dirinya diuntungkan untuk kali ini, kebahagiaan yang benar– benar jarang mereka dapatkan. Tetapi, dibalik kebahagiaan mereka terdapat beberapa orang yang hatinya sedang tak membaik. Terngiang – ngiang dari percakapanku dengan Pilo.

"Nggak usah mikirin seseorang yang nggak mikirin kamu. Pikirin saja diri sendiri."

Saking peduli terhadap keadaan seseorang, aku tak memikirkan keadaanku. Rasa sakit yang muncul karena terobsesi pada dirinya. Kutegarka diriku yang basah kuyup. Tak peduli jika wanita itu tak ada disana, aku akan tetap mendatanginya. Semua orang memang mengecewakan, setidaknya ada salah satu dari mereka yang tak begitu. Kuharap itu dirinya, tapi sama saja.

Berlari menembus medan perang, mematahkan semua anak panah, langkah yang dipertegas dengan diberikan tempo seperti di film action. Kuteriakkan beberapa kalimat dengan suara yang lirih. Tak peduli mereka memandangku seperti orang gila. Yang jelas diriku memang sudah gila, tergila – gila pada dirinya.

"Kanojo. Kanojo. Kanojo. Kanojo. Kanojo. Kanojo. Tunggu. Tunggu. Tunggu. Tunggulah seperti diriku menunggumu." Ucapku lirih berulang – ulang.

Anak panah itu jatuh tepat kedalam mulutku dan masuk ke dalam kerongkongan. Batuk mulai terasa seperti sesuatu datang ketika orang itu tak siap. Sakit. Penyakit. Demam menanti dipenghujung cerita. Tapi tak kupedulikan. Tempat tujuanku tinggal didepan mata.

Bagaimanapun juga, aku harus bisa menembus semua pertahanan disana. Beberapa security sudah siap menahan diriku. Tetapi aku tak merisaukan hal itu. Kutembus dengan seluruh tenagaku. Dan tembok itu hancur dengan satu kali terobosan.

"Kamar yang ditempatin Kanojo dimana?!" tanyaku saat tiba dihadapan resepsionis dengan nada yang tinggi. Menjadi pusat perhatian sudah tak masalah lagi bagiku. Itu kerap terjadi jika diriku tergelak tak jelas dijalanan.

"Ba-bapak siapanya?" Ucap petugas itu sambil ketakutan tak jelas.

"Lihat muka saya. Apa terlihat asing?!"

Petugas itu hanya menggeleng, lalu memberikan tempat dimana wanita itu tergeletak sekarang. Di ruang ICU. Berat langkah untuk kesana. Wanita itu benar – benar tumbang. Kalah telak dalam pertarungannya. Penyakitnya lebih menguasai tubuhnya. Dengan rasa hampa, diriku pergi meninggalkan rumah sakit itu. Tak ada hal apapun lagi yang harus kutunggu tentang dirinya. Tetapi, janjiku harus kulaksanakan.

*****

Ini sudah satu Minggu setelah kejadian diriku menatapnya tak mampu bergerak. Masih bertahan pada janji yang ing kutuntaskan. Menunggunya di gedung sate ini. Hujan sekaeang sering mampir untuk memberi kegembiraan kepada alam yang membutuhkan. Pawang hujan tak bisa mengalahkan hukum alam. Sudah tiba, sudah saatnya.

Pandanganku dengan pakaian yang kuyup, semuanya nampak buram. Semoga, tanpa kusadari wanita itu melindungiku dengan memberikan tameng untuk menahan semua anak panah ini batinku. Harapan itu tak akan tercapai menurutku. Harapan hanya harapan, jika itu terjadi, itu adalah takdir.

Hari sebentar lagi malam. Matahari benar – benar gagal menunjukkan senjata yang memukau semua orang yang melihatnya. Kuberjalan meninggalkan tempat duduk disana dan pergi ke indekos ku. Esok sepertinya nggak akan nunggu. Badanku nggak enak gumamku dalam hati.

Berjalan dengan rasa hampa. Janji – janji yang dibuatnya seolah habis. Seperti meminum kopi janji jiwa lalu habis. Dibuang. Seperti itulah janji, dibuat dan dibuang. Ku rogoh kantung celananku untuk memeriksa kunci.

Kuambil kunci itu dan kulangsung tempatkan dimana ia seharusnya. Namun terlihat sedikit celah, seseorang berada didalam rumahku. Kulihat lagi seisi halaman depan indekos, terlihat sepasang sendal. Kubuka perlahan pintu itu, gelap. Tak ada siapapun. Kutekan saklar, terang. Hanya cahaya yang tertuju pada ruangan tengah.

Terdengar suara piring yang dikeruk dengan sendok. Seseorang berada didapur sana. Kulihat dan kunyalakan lampu itu. Terlihat rambut cokelat yang panjang. Sebelum kusentuh bahu wanita itu, seseorang masuk tanpa salam. Kulihat kebelakang dan balik lagi kehadapan wanita itu. Hilang. Tak ada disana. Kulihat sekeliling ia sudah duduk disana dan membelakangi ku.

"Siapa?" tanyaku.

Tak ada jawaban, hanya kesunyian yang membunuh tiba saat itu.

"Kalau nggak ada urusan, tolong pergi." Ucapku lagi.

"Tega banget kamu." Balasnya tanpa memandang diriku, tak sopan. Suaranya sedikit tak asing bagiku.

"Kanojo?" Ia langsung membalikkan badannya. Terlihat wajahnya yang cerah tersorot cahaya lampu.

"Maafkan. Udah sekitar satu bulan ya nggak ketemu. Denger – denger kemarin kami kerumah sakit pake pakaian basah ya?" tanyanya. Pipiku merah sesaat dan mengangguk untuk menjawabnya.

Percakapan kesana kemari, pertanyaan ini itu terlontar, hening sedikit juga sering. Tetapi ada satu hal yang masih terpikirkan saat ia mengucapkannya.

"Mungkin, kita suatu saat bakal susah untuk bertemu. Makanya, aku ingin puas – puasin bertemu sama kamu. Aku akan kembali, walau hanya sehari. Janji." Jelasnya.

Untuk sesaat memikirkan segala kalimatnya. Apa ia akan hilang untuk selamanya? Tetapi ia janji bakal kembali meskipun tak lama. Secepatnya ingin bertemu dihari itu. Tetapi tak ingin berpisah untuk waktu lama.

"Oh ya, untuk terakhirnya. Atau malah untuk suatu saat ini. Kita ambil foto bareng yuk. Biar ini gimana cara aku bisa ngelihat kamu."

Beberapa gambar dapat diabadikan dengan keadaan hanya berdua. Ruangan yang penuh perasaan, penuh canda tawa, penuh kesedihan, hanya tersisa kenangan. Hal yang membuatku malu adalah ia seusai mengambil gambar, ia malah memelukku. Erat. 

V O N : Hidup atau HarapanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang