Seluruh cerita ini

18 11 0
                                    

Nam sebenarnya kini ia sudah lulus dalam kuliahnya. Kesehariannya kini hanya murung di dalam kamar dengan isak tangis yang tak henti. Ia keluar kamar setiap tengah malam untuk makan ataupun hal lainnya. Membaca cerita ini, membuat diriku seolah terpikir untuk tak berjatuh pada lubang yang salah. Jatuh dalam hati seseorang yang salah.

Setelah kelulusannya, ia selalu saja pergi ke alun –alun kota. Pulang–pulang matanya sudah sembab. Manusia yang baik tetapi bergaul dalam lingkungan yang sebaliknya. Kepercayaan yang ditaruh pada seseorang namun dilepasnya dengan santai. Sebenarnya, walaupun wanita itu meninggal, kenapa harus selalu wanita itu, masih banyak yang bisa menanti disana. Setidaknya, jika ia sudah tiada, tetapi bayangannya kerap menghantui. Didalam hati, ia tinggal bersama kita.

Setelah mengetahui kalau wanita itu benar – benar meninggal, Nam cerita semua kepada diriku. Bahwa ia seperti menyiram tanaman dengan proporsi yang salah. Sehingga tanaman itu mati, tak dapat melindunginya.

"Kenapa? Kok pulang – pulang matanya udah merah?" Tanyaku kepada Nam.

"Dia..." Ia terdiam memandangi lantai yang kotor dan dihiasi hujan oleh matanya. " Udah pergi duluan."

"Duluan kemana?"

"Meninggal."

Suasana saat itu hanya kesedihan dan keheningan menjadi satu kepaduan. Dirinya benar – benar tak dapat bangkit lagi. Seolah keyakinan dirinya dengan wanita itu akan bisa bersama, sampai saat nanti.

"Nggak perlu bersedih. Tuhan udah menyiapkan jodoh kita sendiri. Jangan terpukau sama satu wanita aja. Emang apa kelebihannya?"

"Bukan masalah kelebihan. Tetapi seberapa dirinya benar – benar tulus dan..." Hentinya kalimat itu.

"Cint-a?" Tanyaku. Ia hanya mengangguk. Pergi kekamar hanya untuk merenung bukan tujuan utama. Dirinya pasti benar – benar terpukul paling dalam. Bisa saja dia menggantung dirinya sendiri. Itu pasti terjadi jika seseorang sedang depresi.

Mengetahui hal itu, aku selalu memandanginya kapanpun. Orang tua kita akan pulang dua bulan lagi. Anaknya kini yang dewasa sedang terpuruk. Pikirannya semakin kecil jika ia sudah berpikiran untuk bunuh diri. Tepat tengah malam saat aku sedang menonton film, ia keluar dari penjaranya.

"Bagaimana cara menghilangkan sedih ini?" Tanyanya dengan mata yang sudah menahan kantuk.

"Sedih itu hal wajar apalagi menangis. Wanita yang kakak banggakan, kini masih hidup. Hidup didalam hati kaka sendiri. Begitu juga saat pacarku meninggal, ia kini tetap melekat dihati. Karena itu, aku nggak akan melupakannya. Meskipun perih saat memikirkannya, aku akan membawanya dalam hati ini. Sampai sekarangpun, aku masih mencintainya." Jelasku dengan gagah mengatakan hal itu.

Lelaki yang sudah dewasa, pikirannya sudah melebihi diriku, menangis saat memeluk diriku. Entah hal apa yang dirasakan, akupun rasanya ingin ikut menangis. Seperti mengingat kejadian lama yang kini terbuka kembali.

Beberapa hari setelah itu, ia pergi dengan rasa sedikit bahagia untuk menyelesaikan kuliahnya. Kuharap dirinya akan menjadi pribadi yang baik dan tak dibodohi lagi oleh seseorang yang namanya wanita.

*****

Hari itu, semuanya sudah jelas. Kakakku sudah tak normal lagi jika diajak bicara. Herannya ia tetap beribadah semaunya. Hatinya tetap terbuka meskipun dirinya lain lagi. Wujudnya bukan lagi seperti manusia, tetapi setengah manusia, Mempunyai kesadaran yang tak minim. Sepertinya dia autis, mungkin. Tiap tengah malam selalu keluar kamar dan melaksanakan apa yang ia hendaki.

Siang yang cerah, aku beranjak pergi dari rumah yang berisi kekosongan ini. Orang tua kita berdua tak peduli meskipun anaknya butuh pelukan dari mereka. Gila. Alun–alun kota menjadi tempat yang nyaman untuk membuat cerita. Orang–orang berlarian kesana maupun kearah sana. Diiringi oleh kicauan burung dan juga angina yang berdamai.

Kuharap ditempat ini tak dipertemukan oleh orang yang sama batinku. Orang yang kumaksud adalah orang yang mempunyai sikap seperti mantannya kakakku. Sontak, tak sengaja kulihat pemandangan sekitar. Seorang wanita duduk disampingku. Tolong, siapa cewek ini? Kemaren nggak ada disini batinku.

"Haii...Serius amat, ngerjain tugas apa?" Ucap wanita itu. Umurnya kupikir satu tahun lebih tua dariku.

"Hmm... Tugas bahasa Indonesia. Disuruh buat novel padahal nggak jago bikin cerita. Ngarang aja masih nggak nyambung apalagi cerita." Kataku sambil terkekeh.

"Tugas itu harus dikerjain. Kalo bukan buat nilai sama nambah wawasan, kenapa harus dikerjain?"

Aku hanya menggeleng tak tahu menahu. "Lagi nggak kepikiran hal lain. Nggak tahu juga mau bikin konsep kayak gimana. Entah mau bikin novel, puisi, atau cerpen. Enaknya bikin apa?" tanyaku.

"Bikin cerpen aja, nggak perlu mikirin hal selanjutnya. Kalo bingung bikin lanjutannya. Gantungin aja ceritanya." Wanita itu tertawa. Entah apa yang membuatku terus memandanginya. Aku ketahuan, ketahuan memandanginya. Ia menerbitkan senyuman.

"Kalau soal cerpen sih... Eumm ada beberapa udah pernah kubikin dan juga dibantu kakakku."

"Nah kan. Gimana kalau aku tambahin juga? Ceritanya tentang seseorang lelaki yang mencari jodohnya."

"Bolehtuh, yaudah kita mulai. Mohon bantuannya ya." Aku langsung membuka lembaran baru untuk diketikkan.

"Oke. Cerita awalnya begini..." Jelasnya yang begitu panjang dan rumit. Namun sebelum sampai selesai ada sebuah plot twist. Wanita itu mengeluarkan kalimat ; kita berdua berteduh di sebuah taman, aku hanya melamun dan lelaki itu menyuruhku untuk duduk. Ia memberikan jaketnya, dan kini jaketnya masih ada pada diriku.

"Kamu namanya siapa?" Ucapku memotong kalimatnya.

"Kanojo Alfitri."

V O N : Hidup atau HarapanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang