Tak sadarkan diri seperti sudah mati. Napasku tak terasa ketika diriku terlelap. Bangun – bangun sudah berada dikasur yang empuk. Seseorang pasti sudah menggiring diriku ke indekosku gumamku dalam hati. Kubuka mata perlahan, cahaya lampu mensoroti mataku saat itu. Kubuka lagi dengan pelan – pelan, cahaya menusuk mataku. Tapi aku bisa menahannya.
Kutengok sebelah kanan ataupun kiri, terlihat sebuah gorden yang tertutup. Terlihat sebuah air infus yang tergantung disana. Tetesan demi tetesan jatuh ke liang itu. Seperti tangisan yang tak sengaja kudengar. Ruangan ini mengalami kesedihan. Seseorang bersedih tak kuat menahan tangisannya. Dihadapanku ada kasur yang dimana gordennya tidak ditutup.
Sebenarnya ini indekosku apa rumah sakit? Batinku seraya mengingat–ingat kejadian sebelum diriku disini. Terlintas sebuah bayangan dalam pikiran. Saat itu aku berbicara dengan polisi. Ah ternyata diriku pingsan di dekat rumah sakit, dan kayaknya diriku sekarang ada dirumah sakit. Ucapanku seakan benar – benar terjadi. Rehat dirumah sakit ternyata memang nyaman batinku lagi. Namun kata orang– orang nyaman itu jebakan. Tapi bagiku nyaman itu sesuatu yang benar – benar sulit dilakukan. Butuh keseriusan, entahlah.
Kucoba beranjak dari tempat tidurku namun rasanya sulit. Infusan tertancap pada tanganku, sehingga aku sulit untuk pergi selain membawa alat penggantung itu. Cahaya lampu yang menyoroti seketika sedikit redup, karena dihalangi oleh tubuh seseorang yang menghampiri diriku.
"Ah... Kamu sudah siuman. Syukurlah. Kamu paling nanti malam bisa pergi, nggak usah pikirkan soal biaya. Ibu yang tanggung." Kata ibu itu yang perawakannya lebih besar dari ibuku.
Ibu itu duduk disampingku. Termenung, seolah tidak kuat lagi terhadap masalah yang ia hadapi. Walaupun begitu, hukum alam tidak bisa dipungkiri. Takdir tak bisa diubah. Jika hal itu sudah terjadi, maka terjadilah. Mau pergi kemanapun, itu tetap membuntuti dirinya.
"Ibu... Anu, terima kasih." Ucapku malu – malu. Jarang sekali diriku berterima kasih terhadap orang tua. Orang tua dikampung sana saja aku tinggalkan, bagaimana tidak durhakanya.
"Tidak apa– apa. Kamu mabok? Soalnya tadi pas ibu abis beli makanan, ngelihat kamu tertidur dijalanan. Kenapa?" Tanyanya sambil menatapku dengan serius.
"Itu bu, Saya terlalu banyak pikiran. Tentang kuliah, hal ini, itu dan yang lain. Sesak banget rasanya bu, nggak ada lahan sama sekali untuk beristirahat. Saya bukan pemabuk bu. Malah belum pernah nyoba dan nggak akan nyoba. Dosa bu." Jelasku sambil mendudukkan tubuh ini. "Dan saya juga sering kepikiran wanita yang udah cukup lama nggak ketemu, sampai-sampai nggak bisa komunikasi satu sama lain."
"Wanita? Siapa? Ibu juga sedang menjaga anaknya saudara ibu. Dia sakitnya udah lama. Nggak tahu lagi harus gimana, sering masuk rumah sakit. Dirawat, banyak banget keluhannya. Makanya orang tuanya menyuruh ibu buat jaganya." Wanita tua itu sambil menatap anak yang sedang tertidur lelap.
"Wajahnya seperti wajah yang saya kenal bu. Tapi sepertinya bukan dia orangnya." Kataku yang mencoba mengamatinya dengan jelas.
Beberapa perawat memasuki kamar dan keluar lagi. Hanya melakukan tugasnya saja. Kubuka ponsel, tak ada notifikasi dari siapapun. Benar – benar ditendang seperti diriku dulu. Wanita tua itu belum juga melontarkan pertanyaan ataupun hal lain, ia malah pergi ke tempat anak yang ia jaga itu. Wanita itu tersadar dan langsung mendudukkan tubuhnya. Kita bertatapan secara langsung.
Wajahnya yang disoroti cahaya lampu membuka pikiranku. Terjawab semuanya. Wanita itu disini dengan sakit yang dialaminya. Sakit itu memang jahat. Ia bisa datang kapanpun, meskipun diri kita belum siap. Kita berdua sama – sama refleks. Ingin beranjak meninggalkan tempat tidur meskipun ada penghalang. Penghalang bukan satu hal yang dapat menghambat, tetapi niat yang bisa menghancurkan hambatan itu.
"Kanojo.." Gumamku kecil.
Terdengar suara samar–samar dari sana. Sepertinya ia menyebutkan namaku juga. Kumantapkan niat, lalu beranjak dari kasur ini. Wanita itu diam saja, menunggu seseorang menghampirinya. Seperti bunga matahari yang akan dihampiri seekor lebah.
"Kanojo."
"Na- Namm." Nadanya seperti ingin menangis sekencang – kencangnya. Ia melakukan hal itu. Ia menangis. Semua orang yang menjaga saudaranya diruangan itu menatap kepada kami lalu mengabaikannya. Seolah terjadi hal yang mengkhawatirkan.
"Maafkan diriku." Kataku sambil menunduk.
"Kamu nggak perlu minta maaf. Aku yang salah, meninggalkan kota itu demi kesehatan walauppun ada kenangan." Katanya.
Wajahnya yang tadi sedih seperti orang yang kehilangan barang berharga kini menjadi wajah ceria dengan senyum yang semringah seperti orang yang menemukan kembali barang berharganya itu. Itu adalah aku. Pasti.
Percakapan tak jelas, mengalir kesana maupun balik aliran dilakukan. Tak peduli bermakna atau tidak, yang jelas kita saling bertemu dan saling bercakap. Tepat juga seperti kita bertemu, hujan selalu menjadi penggiring latar belakang. Ia hadir seperti semut yang awalnya menunggu bahan yang manis kini mengerumuni makanan itu. Hujan mengerumuni kita berdua.
"Nomor ponselmu berapa?" Tanyaku, karena pertanyaan itu adalah hal terpenting bagaimana kita bisa berkomunikasi satu sama lain.
"Aku nggak pegang ponsel. Nggak dibolehin sama mamahku." Wajahnya seolah meminta maaf tanpa berucap. " Bagaimana jika tukar alamat saja?"
Aku mengangguk setuju. "Baiklah aku sangat setuju."
Kita saling bertukar alamat satu sama lain. Alamat di kota Bandung ini tak terlalu jauh dengan indekosku. Sedangkan alamat dikampung asalku tak jauh dari tempatnya kecelakaan. Kecelakaan yang membuat celah diantara kita berdua. Dan celah itu telah dilapisi tembok yang tebal. Sehingga dirimu tetap menjaga hati untuk diriku seorang.
Seseorang memasuki ruangan dan menghampiri kita bertiga. Percakapan saat itu langsung berhenti. Tak ada kelanjutannya.
"Eum... Saudara Nam, Sudah saatnya anda pergi. Waktu anda hanya sampai sini saja. Untuk masalah biaya sudah dibayarkan oleh Ibu Waya." Ucap perawat itu.
Aku hanya menganggukkan kepala. Kupikir memang sudah saatnya untuk pergi karena waktu untuk singgah disini tak begitu lama. Singgah itu bukan berarti benar – benar menetap. Seolah hanya berteduh ketika hujan.
"Nanti aku tunggu digedung sate. Aku akan menunggumu disana. Walaupun kamu nggak datang, aku akan tetap menunggu." Ucapku sambil meninggalkannya dengan menitipkan senyuman.
Dalam keadaan apapun, lebih baik menerbitkan senyuman mesti hati tidak selaras dengan apa yang kita ungkapkan. Air mata yang menggumpal dimatanya, kini menetes satu persatu. Setelah momen meneteskan mata, kini terjadi air terjun dimatanya. Menangis dengan sepenuhnya. Pertemuan yang singkat, memang tak menyenangkan. Tapi suatu saat, tak ada penghalang lagi yang menghambat. Kuyakinkan itu.
Aku beranjak dari tempat itu. Dilepasnya infusan yang tertancap ditanganku. Beranjak dengan niatan awal yang berbeda. Makanan tak ada ditanganku, tak masalah. Masalah lain adalah kapan ia bisa terbebas dari rumah sakit. Kubuka pintu itu, terdengar suara seseorang.
"Aku pasti akan kesana. Pasti. Tak akan lagi mengecewakan dirimu. Janji." Katanya sambil menghampiri diriku.
Aku menangguk dan menatapnya. Kulontarkan senyuman yang sangat dalam. Wajahnya mulai ingin menangis lagi. "Aku pergi."
KAMU SEDANG MEMBACA
V O N : Hidup atau Harapan
Ficțiune adolescențiKamu itu egois. Sikapmu tak bisa dijaga dengan baik. Musibah bisa saja datang setiap saat kepadamu jika kamu tetap memiliki sifat itu. Cerita ini bukan hanya sekedar cerita. Jika kamu membaca dengan jelas dan tenang pasti kamu akan mendapatkan makna...