Bandung

15 12 0
                                    

            Dikesunyian ini, terdengar suara ketukan pintu. Untuk berjalan membuka pintu rasanya seperti ada beban yang menindih badan ini. Ketukan itu semakin keras, seolah seorang rentenir datang menghampiri. Kubuka pintu itu, ternyata Erik anak indekos kamar sebelah.

"Ka, mau minta tolong boleh?" Pintanya kepadaku sambil mengulurkan buku tugas.

"Ada tugas yang buat kamu bingung lagi?" Tanyaku balik. Ia hanya mengangguk meresponsnya. " Ayo, masuk sini. Biar kubantu, tapi maaf berantakan sekali."

"Tidak apa – apa. Niatku hanya buat belajar saja. Bukan untuk singgah."

Kupersilahkan dirinya untuk duduk dikarpet yang belum kubersihi. Kuambil kan minum air putih, karena jika ditanya pasti ia akan menggelengkan kepalanya. Padahal ia mau.

"Aaah, maaf. Cuman ada air putih."

"Nggak apa – apa." Katanya sambil membuka buku tugas itu.

"Soal mana yang sulit?" Tanyaku.

"Ini.." Sambil menunjukkan kepadaku. " Benar – benar susah. Temen – temen aja minta contekan kepadaku."

"Kata siapa?" Tanyaku sambil menatapnya . " Soaloal – soal pelajaran itu nggak seberapa, tahu. Yang paling susah itu soal – soal kehidupan. Karena kita nggak pernah tahu jawaban yang paling benar yang mana."

Ia hanya mengangguk kebingungan karena tujuannya kesini meminta kebingungan bukan meminta arahan. Sontak, telingaku berdengung. Kepalaku kesakitan seperti seseorang yang sedang memukulinya. Kupegang kepalaku, dan Erik memasang wajah keheranan. Ia tak tahu menahu soal tentang diriku.

"Ka, kenapa? Kok pegang kepala?" Tanyanya.

"Baik – baik saja. Ayo kita selesaikan bersama – sama."

Pikiranku saat mengajarkannya sedikit tidak fokus terhadap apa yang disampaikan. Seolah berbicara tanpa memikirkan konsekuensi yang akan terjadi. Salah kaprah saja bisa masalah untuk dirinya. Memberikan pemahaman sesuai kemampuan adalah hal yang cukup bagiku bisa menolong orang lain. Dirinya seolah paham dengan perkataan ku tapi kuyakin, dia benar – benar paham. Tak ada kebohongan dalam wajahnya.

"Terima kasih. Saya jadi cukup paham tentang materi ini. Lain kali kalau saya kebingungan, saya kesini lagi." Ucapnya yang berdiri didepan pintu yang siap ia dorong untuk menutupnya.

Seusai mengerjakan tugas dan mengajarkan beberapa materi kepadanya, aku hendak pergi keluar untuk mencari makanan. Tapi pikiranku sedang tidak enak, dipenuhi dengan masalah di Jogja sana. Puing – puing kesalahan timbul dalam pikiran. Namun dengan niat, kumantapkan langkahku pergi keluar meskipun keadaan diriku kurang baik. Siapa peduli.

Suara sirine ambulan tersengar begitu keras ditelingaku. Telingaku berdengung dengan keras. Diriku tergeletak dijalanan dengan menahan telingaku. Semua menatap diriku seperti orang yang kehilangan kewarasannya. Orang – orang menjadikan diriku sebagai pusat perhatian dan merekam diriku. Entah apa yang akan mereka lakukan dengan video itu.

Aku beranjak pergi dari kerumunan yang memalukan itu. Terdengar sirine polisi seolah ingin mengamankan diriku. Dikejar – kejarlah diriku yang tak bersalah ini. Aku tidak ingin tertangkap. Jadi kupilih lari untuk menghindari polisi. Padahal diriku nggak salah, kenapa harus lari? Gumamku dalam hati. Tapi, buat apa mereka mengejar ku? Apa aku dikira gelandang yang meresahkan warga sekitar? Batinku, lagi.

Polisi itu masih terus mengejar tak berhenti. Sontak semua terkejut begitu juga diriku. Polisi menembakkan pistol ke langit yang cerah. Burung – burung berlarian dari langit itu. Semua pemandangan menjadi penyergapan seseorang.

"BERHENTI!" Teriak seorang polisi.

Aku menghentikan langkahku dengan memantapkan diri kalau aku tidak bersalah dalam hal apapun. Polisi langsung menghampiriku dan memborgol tanganku. Tak dibawa ke kantor polisi namun dibawa masuk kedalam mobil dan dibawa ke tempat yang cukup sepi.

"Kenapa kamu harus lari?" tanya polisi itu.

"Kenapa bapak harus ngejar saya?" tanyaku balik.

"Kenapa kamu nanya balik?"

"Kenapa bapak nanya saya?"

"Kamu disekolahin nggak sih?"

"Sekolahin lah, bapak sendiri disekolahin?"

Percakapan yang tak ada jawaban. Hanya pertanyaan yang terlontar dari polisi itu dan juga diriku. Polisi itu kali ini tidak sedang bermain – main. Ditodongkannya pistol ke bagian kepalaku. Ditangannya lagi diriku.

"Mau nembak saya? Tembak aja pak. Saya lelah dalam hidup ini." Ucapku yang memang sudah pasrah.

"Kamu ya. Masih muda udah nantang polisi. Pas SMA kamu sering tawuran?!" Balasnya dengan nada sedikit naik.

"Bapak nggak tahu menahu tentang hidup saya. Buat apa ngarang cerita. Yang jelas, kenapa bapak ngejar warga yang nggak bersalah?" Tanyaku yang tak tahu sopan santun. Saat itu seakan diriku berubah kepribadian. Entah mungkin situasi saat itu, atau pikiran ku yang pasrah akan kehidupan.

"Bener – bener ya kamu! Berani ngelunjak pada orangtua!"

"Orangtua saya ada dikampung halaman. Bapak siapa?"

Polisi itu menarik napas kuat – kuat. " Sudah sekarang kamu keluar saja. Lain kali nggak usah ngeresahin warga sekitar. Udah buruan keluar atau mau nunggu tahun depan!"

Kubuka pintu mobil itu. Mending nunggu tahun depan aja kali ya, biar nggak banyak pikiran gumamku. "Bukan saya yang ngeresahin warga, tapi bapak sendiri." Ucapku sambil menutup pintu itu.

Polisi itu tak mengejar, meninggalkan jejak dalam pikiran. Polisi nggak guna. Tolol. Bego. Mana ada polisi menciptakan kedamaian. Sendirinya yang bikin keresahan malah menyalahkan orang lain.

Gang kosong bersampingan dengan rumah sakit. Rasanya ingin pergi kerumah sakit untuk rehat sejenak. Benar–benar hari yang melelahkan. Namun sesaat, diriku terjatuh tergeletak lagi. Orang–orang mulai berkerumun, melakukan hal seperti tadi. Napasku sesak, tak ada udara yang kuhirup. Suasana menjadi dingin, tanpa adanya harapan.

V O N : Hidup atau HarapanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang