Semua orang pasti punya harapan tersendiri. Entah harapan itu berisikan sebuah pertemuan, tak ingin dipisahkan, atau ingin diterima perasaannya. Harapan seseorang sulit dipahami oleh orang lain. Seperti dirinya yang tak ingin dimengerti. Bersikeras kalau ia baik – baik saja seakan dunia ini dia yang mengendalikan. Dia bukan avatar apalagi seseorang yang memiliki kekuatan. Dia hanya seorang wanita yang sedang terjerat oleh penyakit ganas yang tertanam dalam dirinya. Ia memiliki kekuatan, tetapi berbeda dengan ekspetasi setiap orang. Kekuatan pasti berhubungan dengan elemen seperti api, tanah, ataupun sebagainya. Tapi ia tidak, ia berhubungan dengan kepribadiannya sendiri. Keras seperti batu. Batu.
Semenjak hari itu, ia tak ada kabar sekalipun. Kuhampiri rumah yang besar itu, tapi bibi itu bilang kalau dirinya sudah pergi ke kota dulu. Mengetahui hal itu, serasa dikhianati. Perpisahan hanya untuk meninggalkan sedikit luka. Kutelepon temanku yang disana. Kutanyakan, apakah wanita itu ada disana atau tidak. Namun tak ada yang melihatnya. Mereka hanya melihat bendera kuning saja. Tetapi itu bukan menandakan seseorang meninggal karena tak seorangpun ada yang melayat. Heran, apa orang – orang sekitar yang bersikap bodo amat, atau malah tak mengetahui kalau itu menandakan seseorang sudah lenyap ditelan bumi.
Kuabaikan semua tugas kuliah hanya untuk memastikan dirinya. Pergi ke kampung halaman pasti akan menimbulkan konflik. Orang tuaku pasti akan memarahi karena tak fokus dalam perkuliahan. Adikku mungkin sudah mulai beranjak remaja. Namanya Ilyas Alfas. Entah apa makna dari nama itu, tapi yang jelas orang tua sudah menyiapkan maknanya tersendiri.
Perjalanan untuk balik ke kampung sendiri tak memakan waktu seharian. Hanya beberapa jam saja, jika tak macet. Lawakan kerap terdengar ketika traffic light mengganti warnanya menjadi merah. Suara pengamen juga sering menghampiri dibarengi dengan angin sepoi – sepoi. Seorang wanita yang begitu ketakutan akan jatuh sampai – sampai ia memegang pinggang lelaki itu. Sudah gede, masih aja pegang pinggang. Kayak anak kecil.
*****
Keadaan rumah yang megah tapi tak berhuni. Sekalinya kubuka pintu, terdengar pecahan piring. Seperti setan yang sedang iseng dan pengin diajak bermain. Tapi beda dunia, percuma takkan bisa disatukan. Ilyas muncul dari arah dapur sambil membawa pecahan piring itu. Entah apa yang dilakukan bocah itu.
"Abis ngapain?" Tanyaku sambil merebahkan badan.
"Ngapain pulang?"
"Udah mulai berani ya?"
"Udah mulai nyari cewek ya?" katanya membuatku tak bisa berkutik lagi. "Kok diem? Benerkan, uwow."
"Ibu sama ayah dimana? Masih tetep mikirin dunia kerja tanpa mikirin anaknya sendiri?" Tanyaku. Ia mengangguk. Nasib.
"Ada apa pulang?"
Aku berjalan ke arah dapur untuk mengambil segelas air. "Ada yang harus dipastiin. Soalnya ada yang udah hilang tanpa kabar."
"Masalah cewek sih inimah. Nggak usah nyari yang hilang deh. Apa yang akan datang itu lebih baik dari pada yang hilang." Jelasnya yang sok bijak.
"Udahlah, nggak perlu ngasih kata – kata sok bijak. Harus buru – buru juga. Jangan ejakulasi saat lagi sepi, awas loh." Candaku padanya. Ia memasang raut wajah merah, seakan candaan yang kuberikan benar – benar ia lakukan.
Dengan memantapkan niat, aku beranjak dari rumah yang hanya diisi oleh kemuraman. Rumahnya dekat alun– alun kota disana. Saat sebelum belok ke arah rumahnya,, diriku menatap tempat kita bertemu. Kini dihadiri oleh sepasang kekasih yang bercumbu secara diam–diam. Ancur, bodoh, nggak harus di tempat terbuka juga.
Sesampainya disana, benar. Disana terdapat bendera kuning. Kuhampiri dengan langkah lemas. Tapi kuyakinkan diriku jika ia masih bersembunyi dan masih bernafas di dalam sana. Bendera kuning ini seperti bukan menandakan seseorang sudah meninggal, tetapi seperti keluarga mereka ikut dalam partai golkar. Tapi tak ada logo golkar pun dibendera itu. Seperti benar apa yang dikatakan temanku.
"Permisi bu. Kanojo ada?" Tanyaku seraya melirik keadaan.
"Kamu nggak lihat bendera kuning didepan sana?!" Bentak wanita tua itu sambil menahan tangisnya.
"Pasti ibu sama bapak becanda. Mana ada bendera kuning nggak ada warga berpartisipasi dalam keadaan gini?"
"Kamu nggak usah ikut urusan orang lain. Walaupun dirinya masih hidup, nggak akan kuterima lamaran dirimu, pergi sana!" Lelaki tua itu angkat bicara seraya mengusirku.
Mereka menutup pintu itu rapat–rapat. Semuanya kini sudah jelas. Penyakit itu berhasil mengalahkannya. Sampai ia benar –benar tumbang. Tumbang sampai liang lahat. Sudah. Ini sudah berakhir. Cerita yang kubuat dulu tak berguna lagi. Pikiranku harus terfokus pada kuliahku. Sebelum benar–benar beranjak, diriku sempat meneteskan air mata. Begitupun dengan langit, bersedih bersama dengan diriku. Tetapi seperti ada pihak ketiga yang menatap diriku dan langit. Mata–mata itu ada dilantai dua rumah itu. Saat ku tengok, hanya gorden yang bergerak sedikit saja. Arwahnya ikut bersedih juga ternyata.
Kini diriku kehilangan seseorang lagi. Menaruhkan seluruh hidupku pada dirinya. Harapan bisa bersamanya sampai akhir hayat kini sudah tercoret dalam buku pikiranku. Mau bagaimanapun, kehilangan adalah momen paling menyakitkan, apalagi tanpa ada perpisahan, dan dipisahkan oleh kematian.
KAMU SEDANG MEMBACA
V O N : Hidup atau Harapan
Teen FictionKamu itu egois. Sikapmu tak bisa dijaga dengan baik. Musibah bisa saja datang setiap saat kepadamu jika kamu tetap memiliki sifat itu. Cerita ini bukan hanya sekedar cerita. Jika kamu membaca dengan jelas dan tenang pasti kamu akan mendapatkan makna...