Dua arah

18 12 1
                                    

            Bau dari tetesan air hujan mulai tercium. Hujan yang tak begitu deras tapi suatu saat bisa saja. Terdengar suara samar – samar seorang wanita menangis. Menangis karena ditinggalkan oleh kekasihnya. Wanita itu berjalan meninggalkan tempat terakhir mereka bertemu, berjalan memasuki medan basah- basahan dan tak peduli dengan keadaan sekitar. Tubuhnya kedinginan dan seluruh pakaiannya basah. Tapi, seorang pria datang menghampiri lalu memayunginya. Wanita itu semakin tak bisa menghentikan air matanya yang berjatuhan. Wanita itu memeluk lelaki yang tingginya sepantaran denganku. Mungkin, lelaki itu adalah orang yang dulunya pernah berharap pada wanita itu. Dan ia tetap menunggu, terus menunggu. Sampai wanita itu membutuhkannya. Sama sepertiku, dulu.

Senja menyembunyikan senjatanya. Ia tidak ingin muncul kali ini. Atau mungkin ia sudah disogok oleh hujan agar tidak muncul. Perasaan kecewa para penunggu senja di Malioboro tak sedikit. Sore yang sebentar lagi akan usai kulihat para siswa – siswi SMA yang sedang berbelanja.Malioboro adalah tempat terakhir mereka di Jogja. Sedih sekali rasanya.

Wanita itu tetap menangis, meskipun sudah ada seseorang yang melindunginya. Mereka bertepi, tepatnya di sebelahku.

"Nangisnya udah dulu. Sedihnya udah dulu. Bukan dia aja yang kamu harapkan. Masih banyak yang lain sedang menunggumu. Mata kamu sudah terlalu sembab. Pikiranmu pasti sudah sangat sesak akan hari ini. Kamu tahu kan? Sederas apapun tangismu, sederas apapun hujan turun disore yang beberapa menit lagi akan malam, pelangi nggak akan pernah datang setelahnya." Ucap lelaki dengan perawakan sepertiku.

Kalimat yang tidak sengaja kudengar. Tapi maknanya juga sampai kepadaku. Seolah lelaki itu memberitahu kepada pendengarnya, namun ia tidak sadar. Wanita itu berhenti menangis. Ia memeluk lelaki itu. Semua pandangan mata disekitar menuju kepada mereka yang menjadi pusat perhatian.

"Maafkan aku. Udah nyia–nyian kamu. Kamu emang selalu peduli, cuman akunya yang mencoba enggak peduli. Rasanya salah besar." Ucap wanita itu dengan tersedu – sedu.

"Nggak perlu minta maaf. Memang sepertinya dulu sikapku kepadamu yang berbeda. Jadi, aku akan memperbaikinya untukku dan juga untukmu." Balas lelaki itu.

Malam tiba dengan hujan yang tak kunjung reda. Seolah penantian yang tak kunjung terjadi. Mereka berdamai, menjadi kesatuan yang utuh seperti sedia kala. Aku sepertinya dapet makna dari pembicaraan mereka. Sepertinya, seseorang yang mencintaiku pasti benar – benar akan tetap menantiku, sama halnya seperti aku menantinya gumamku dalam hati.

Pukulan yang tepat dibahuku membuatku terkejut. Pilo mengagetkan diriku yang melamun. Kupikir mereka meninggalkanku ternyata masih ada Pilo yang menunggu.

"Udah ngebatinnya? Ayok sebentar lagi azan. Ketinggalan jama'ah nantinya."

"Udah Pil. Lagian kan pas ujan enaknya ngelamun."

"Kebanyakan ngelamun nanti malah kesambet tau rasa."

"Sekali – kali pengin ngerasain kesambet Pil. Udahlah ayo ke masjid." Ucapku sambil cengengesan.

Aku dan Pilo beranjak dari tempat berteduh ke tempat yang lebih teduh. Langkah demi langkah diiringi suara Muazin membuat pikiranku tenang. Tenang, tetap tenang. Tak berpikiran yang aneh – aneh. Pikiran yang membuat pertanyaan pada pikiran bisa hilang ketika mendengarnya. Rasanya seperti baru bangun tidur. Pikiran kosong, masih belum berpikiran hal – hal yang membuat stress ataupun hal lain.

Seusai salat, hujan masih mengguyur kota ini. Suara pejalan kaki dari arah kiri maupun kanan lebih terdengar daripada sebelumnya. Malam yang damai adalah suatu hal yang ingin selalu kudapatkan. Tak ada beban apapun dalam pikiran. Hanya melamun memikirkan yang dapat membuatku bahagia lah yang kulakukan.

V O N : Hidup atau HarapanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang