Chapter 03

1.6K 237 45
                                    

 بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Happy Reading,

Terik mentari kian berada tepat di atas kepala. Siang ini waktu menunjukkan pukul 12:00, dan suhu udara begitu panas bertambah kemacetan jalan.

"Ayah percaya sama Aqis. Masalah ini enggak sepenuhnya salah Aqis," ucap gadis yang tak lain adalah Balqis itu berusaha mengejar langkah ayahnya yang terus berjalan tanpa menghiraukan ucapan putrinya.

"Huhu, kasihan Aqis-ku, Ayah sudah marah. Hihi," bisik Billal di telinga Balqis dengan suara pelandan dibalas tatapan tajam oleh Balqis.

"Ee kucing. Ayah marah bukan sama gue saja, kok, lo juga membuat masalah, 'kan? Enggak usah mengompori gue, membuat suasana tambah panas saja," ujar Balqis mengumpat kesal.

Ammar berdehem mengalihkan perhatian kedua anak kembarnya. "Ayah mendengar, tadi seperti ada yang mengumpat, tapi siapa ya?" sindir Ammar.

"Aqis yang tadi mengumpat, Ayah. Maaf," ungkap Balqis mengakui kesalahannya.

"Hihi … bagaimana, sih, rasanya dimarahi Ayah?" bisik Billal yang lagi-lagi mengejek dengan bisikan dan hal itu membuat Balqis semakin menggeram kesal.

"Sudah-sudah, cepat masuk! Taksinya sudah menunggu," ucap Ammar menyuruh putra-putrinya memasuki mobil taksi yang dipesannya.

"Iya, Ayah."

--oOo--

Sebuah taksi berhenti tepat di depan rumah mewah milik Ammar. Dengan ucapan terima kasih serta uang yang dibayarkan sesuai argo, mereka segera memasuki rumah itu setelah taksi meninggalkan tempat.

"Assalamualaikum," salam Ammar memasuki rumahnya.

"Waalaikumsalam," jawab Farah, istri Ammar seraya mencium punggung tangan suaminya.

"Assalamualaikum, Bunda," salam Billal dan Balqis mencium punggung tangan Farah.

Farah Azhar, merupakan sosok perempuan yang sangat menyayangi anaknya dan memiliki sifat penyabar.

"Waalaikumsalam, kalian sudah pulang? Bagaimana? Ceritakan pada Bunda tentang apa yang terjadi, mari kita duduk!" pinta Farah pada putra-putrinya.

"Ja-jadi gini, Bunda … emm a-anu i-itu … Ilal …." Ragu Billal yang belum menjawab pertanyaan sang bunda.

"Ilal membuat masalah, Bunda, dia melanggar peraturan yang sudah ditetapkan dari sekolahnya. Dan, dia mendapat konsekuensi dengan drop out dari sekolah," ucap Ammar memotong pembicaraan Billal yang menurutnya terlalu bertele-tele.

"Astagfirullah, Ilal, kenapa bisa? Apakah pelanggaran yang kamu lakukan begitu fatal, hingga kamu di-drop out dari sekolah?" tanya Farah.

"Maaf, Bunda, Ilal terpaksa melakukan itu karena dipaksa oleh teman Ilal dan diancam kalau Ilal enggak mengikuti perintahnya, Ilal akan dikeluarkan dari perkumpulannya, dan tadinya Ilal enggak mau sampai itu terjadi," jawab Billal menundukkan kepala.

"Bunda tidak menyangka, kalau putra Bunda begitu tunduk patuh dengan temannya sendiri," ucap Farah menghapus air mata yang mengalir di pipinya.

Farah beralih menatap Balqis. "Aqis, apa kesalahan kamu kali ini di sekolah? Bunda dengar sedikit dari pembicaraan Ayah dengan pak Aziz, kalau kamu memukul teman sekelasmu, apa itu benar? Jika benar, Bunda akan benar-benar kecewa sama kamu."

"Percaya sama Aqis, Bunda. Ini semua bukan sepenuhnya salah Aqis. Fela yang membuat masalah lebih dahulu, hingga Aqis enggak bisa mengontrol emosi. Lagipula, Aqis enggak memukul, kok, Bunda, hanya menonjok pipinya saja. Habisnya, wajahnya itu enggak enak dilihat, Bunda, membuat Aqis refleks melayangkan tangan," jawab Balqis dengan begitu semangat menceritakan kenyataannya untuk mengharapkan kepercayaan dari bundanya.

"Senakal-nakalnya anak Bunda, dia tidak pernah mengecewakan orang tuanya, tapi Bunda rasa itu dahulu. Saat ini? Bunda kecewa sama kalian." Farah mengakhiri perkataannya dengan berdiri untuk meninggalkan kedua anaknya yang masih setia menundukkan kepala, sebelum akhirnya menyadari ungkapan sang bunda.

"Bunda, maaf, maafkan Illal," ucap Billal bertekuk lutut di hadapan Farah.

"Bunda, maafkan Aqis juga. Aqis, salah. Aqis enggak bisa mengontrol emosi. Bunda boleh marah dengan kita, tapi jangan sampai tahap kecewa karena kecewa itu levelnya di atas marah, Bun," kata Balqis dengan air mata mengalir membasahi pipinya. Gadis itu ikut bertekuk lutut sembari memegang pergelangan kaki Farah.

"Berdiri, kalian! Jujur saja bukan hanya Bunda yang kecewa, tapi Ayah juga. Sekarang Ayah mau tanya, apa kalian mau mendapatkan maaf dari kami?" tanya Ammar pada Billal dan Balqis yang sudah berdiri di hadapan kedua orang tuanya dengan kepala menunduk.

"Mau, Ayah," jawab Balqis.

"Iya, Ayah, tolong maafkan kami. Kami janji, enggak akan mengulanginya lagi." Billal menimpali perkataan Balqis.

Ammar berdehem singkat. "Janji adalah janji. Jika kalian memutuskan untuk berjanji, maka kalian tidak boleh mengingkarinya. Dan, ada syarat agar kami benar-benar memaafkan kalian," ujar Ammar.

"Apa syaratnya, Ayah?"

"Kalian akan diberikan hukuman. Hukumannya adalah … kalian harus belajar hidup mandiri, dengan tinggal di kota Bandung. Menghadapi kerasnya kehidupan selama di sana, tanpa meminta bantuan kami. Ayah memiliki sahabat yang tinggal di sana, dan Ayah akan menitipkan kamu, Balqis, untuk tinggal di pondok pesantren milik sahabat Ayah itu. Dan untuk Ilal, belajarlah untuk berhemat karena Ayah menyerahkan semua biaya selama kalian di sana kepada kamu. Ilal, terima amanat Ayah untuk mencukupkan kebutuhan kamu dan Aqis di sana. Kamu, Ayah bebaskan untuk bekerja ataupun sekolah dan Ayah tidak akan mengirim kamu ke pesantren, tapi tetap berusahalah menjadi yang terbaik hingga Ayah akan menjemput kalian, jika kami sudah mendapatkan kabar baik tentang kalian." Ammar menjeda.

"Ayah akan mengantar kalian besok, bersiaplah untuk apa yang akan kalian bawa selama di sana, kekurangannya akan Ayah antar setelah kalian sampai. Dan satu lagi, jangan pernah berpikir bahwa kami tidak sayang pada kalian. Sebaliknyalah, kami begitu teramat sayang, hingga kami menginginkan untuk menjadikan kalian sebagai anak yang bertanggung jawab. Mengerti?" ucap Ammar panjang lebar.

"Iya, Ayah," jawab Balqis dan Billal bersamaan.

"Ikhlas dengan hukuman dan keputusan yang akan kalian hadapi?" sindir Ammar.

"Iya, Ayah. Insyaallah, Ilal ikhlas menerima keputusan yang Ayah berikan dengan lapang dada," sahut Billal, sedangkan Balqis hanya mengangguk menyetujui perkataan saudara kembarnya itu.

"Baiklah, silakan masuk kamar dan beristirahatlah!" ujar Ammar dan diiyakan oleh putra-putrinya yang mulai beranjak menuju kamar mereka masing-masing.

"Ini yang Ayah suka dari mereka, Bun. Mereka mau mengakui kesalahan dan mau mempertanggungjawabkannya," ucap Ammar menatap punggung Balqis dan Billal yang mulai menjauh.

"Ayah yakin dengan keputusan ini?" tanya Farah yang merasa ragu.

"Bunda percaya sama Ayah, 'kan?" tanya Ammar dengan senyuman penuh harap.

"Iya, Ayah, Bunda percaya," jawab Farah membalas senyum Ammar, meski ada rasa tidak tenang.

***
TBC
Kak Fii mau sapa pembaca dulu, deh. Hola, kalian bosan enggak sih?

Assalamualaikum Aqis✔ [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang