24||TERUNGKAP?

9.8K 2K 35
                                    

Pagi yang cerah menyambut Senin kali ini. Banyak dari mereka yang mengharap hujan agar tak ada upacara. Namun memang dasarnya sial, justru Senin kali ini bercuaca cerah secerah wajah Hana pagi kali ini. Bahkan matahari sudah terasa menyengat walau waktu masih menunjukkan pukul 06.30 pagi.

Senyum di wajah Hana mendadak luntur saat kepalanya terhantam sesuatu. Hana berbalik mencoba memeriksa apa yang menghantam kepala bagian belakangnya. Matanya melirik kebawah dan menemukan kepalan kertas besar di sana. Hana membungkukkan tubuhnya untuk mengambil kertas itu.

Dengan rasa penasaran, Hana membuka kepalan kertas itu dengan cepat. Ia menggeram kesal saat kembali mendapat surat teroran lagi. Dengan cepat Hana merobeknya lalu membuangnya ke dalam tempat sampah. Hana mencoba cuek tetapi kata-kata yang tertera di kertas tadi cukup mengganggu pikirannya. Karena waktu yang sudah mepet mendekati waktu upacara, Hana berlari menuju kelas dengan cepat.

                               ****

"Na? Lo kenapa dari tadi lesu? Sakit?"

Pertanyaan itu terlontar kala Rahel merasa hari ini Hana lebih banyak diam. Wajahnya ditekuk ke bawah tak bersemangat. Gadis itu menghiraukan pertanyaan Rahel tanpa ada niatan ingin menjawab.

"Kalau ada masalah, cerita sama gue. Jangan di pendem sendiri." Ujar Rahel sambil menepuk dua kali pundak Hana. "Gue ke kantin dulu, beli minum buat lo."

Hana masih tidak merespon perkataan Rahel. Ia hanya menatap Rahel yang sudah keluar kelas. Hana menghela napas berat, Ia menidurkan kepalanya di atas meja dengan posisi miring. Matanya tak sengaja menatap sesuatu yang begitu Hana kenali dari tas Rahel.

Mata Hana melebar sempurna saat melihat beberapa kertas berwarna merah di sana. Tangannya bergerak mengambil kertas itu.

"Kertas ini?" Hana menggelengkan tak percaya. Dirinya mencoba menghilangkan prasangka buruk yang kini hinggap di otaknya.

"Nggak mungkin Rahel."

Hana kembali membuka tas Rahel. Mencari sesuatu di sana siapa tahu dirinya membawa petunjuk.

"Aw!" Hana meringis merasakan telunjuknya yang sepertinya tertancap sesuatu. Matanya melebar saat mendapatkan setangkai mawar merah disana.

"Mawar? Ini bunga yang sama kayak yang dikasih peneror itu." Tiba-tiba dada Hana terasa sesak. Ingatannya kembali memutar kejadian-kejadian sebelumnya. Akhir-akhir ini Rahel sering berangkat pagi mendahului dirinya. Bahkan beberapa kali gadis itu sering pulang terlambat dengan alasan yang tidak jelas. Lalu? Saat ini Hana menemukan beberapa kertas berwarna merah dan setangkai mawar yang sama persis seperti yang dikirimkan peneror itu padanya.

Dengan mata yang berlinang air mata, Hana berjalan dengan langkah tergesa menuju ke kantin. Tangannya membawa barang bukti yang ditemukannya di tas Rahel. Karena tidak melihat-lihat beberapa kali Hana menyenggol bahu orang-orang. Hana tidak peduli, di pikirannya kini hanyalah mengarah kepada sahabat yang sedari kecil selalu menemaninya.

Sesampainya di kantin, Hana menjadi pusat perhatian lantaran dirinya yang menangis. Karena jam istirahat, kantin tampak begitu ramai. Mata Hana mengedar mencari sosok yang ternyata tengah berdiri di stand minuman. Dengan cepat Hana menghampiri Rahel. Ditariknya tangan Rahel kasar lalu menimpuknya menggunakan kertas dan mawar itu.

"Maksud ini semua apa?" Tanya Hana. Air matanya benar-benar mengalir deras saat ini. Dadanya semakin terasa sesak saking tidak percayanya bahwa Rahel pelakunya disini.

Rahel menatap kearah barang yang tadi Hana lemparkan. "Ada apasih, Na? Gue nggak ngerti."

Hana terkekeh sinis, "Nggak usah sok polos, deh. Lo kan yang neror gue selama ini?"

Tudingan Hana itu membuat Rahel terkejut. Matanya menatap tak percaya ke arah Hana, "Lo nuduh gue? Buat apa gue ngelakukin itu semua?"

"Terus ini semua apa, hah? Akhir-akhir ini lo selalu berangkat pagi pulang terlambat. Setiap gue masuk kelas, gue selalu nemuin paling nggak satu kertas yang isinya ancaman. Gue juga sering dapetin kotak yang isinya kodok yang berdarah-darah. Siapa lagi yang tahu selain keluarga gue kalau bukan lo?"

Ujaran Hana yang terdengar lantang itu berhasil menohok hati Rahel. Air matanya tidak dapat Ia bendung lagi. Semuanya telah hancur. Ia kehilangan sahabatnya. Sahabat yang dikenalnya dengan baik seperti saudara kini telah menuduhnya.

"Bukan gue, Na." Ujar Rahel lirih.

"Gue nggak tahu apa motivasi lo buat ngelakukin ini semua ke gue. Apa belum cukup penderitaan gue? Apa belum cukup orang yang gue sayang ninggalin gue satu-persatu? Gue juga pengen punya mama pengertian seperti mama lo. Gue juga pengen punya papa yang selalu ngejagain anaknya, seperti papa lo. Gue juga pengen punya keluarga bahagia seperti keluarga lo, Hel. Setelah gue kenal Lukas, hidup gue kembali berwarna, tapi dengan teganya lo mau rebut dia? Lo tega?"

Rahel menggelengkan matanya. Tangannya membekap mulutnya dengan erat lalu berlari meninggalkan kerumunan di kantin yang tengah memperhatikan mereka berdua.

"Gue nggak nyangka lo nggak percaya sama sahabat sendiri, Na."

                             ****

HALU(Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang