PART 7

601 39 1
                                    

Happy Reading

***

Lampu ruang operasi masih menyala, berapa kalipun Dixie menatapnya lampu itu tidak kunjung padam. Padahal sudah satu jam lebih ia menunggu dengan gelisah bercampur takut di depan ruang operasi. Ia berharap semuanya akan baik-baik saja. Walau kenyataan sudah memberi tahunya dengan telak, bahwa tidak ada yang baik-baik saja.

Rasa sesal menyeruak ke permukaan. Membuat pengandaian muncul dalam pikiran. Ya... Seandainya saja ia tidak menolak ajakan Mommy untuk pulang, mungkin saja insiden ini tidak akan terjadi pada mereka. Mungkin saja, wanita yang melahirkannya tidak akan terbaring di ruang operasi dengan bersimbah darah. Atau bisa saja, andai dua pria itu tidak menghampirinya dan Haruna, mungkin peluru itu tidak akan bersarang di tubuh Mommy Dixie.

"Kejar dan bawa padaku. Hidup ataupun mati."

Dixie tersentak. Ia teringat ucapan pria itu, sesaat setelah dirinya dan pria itu terjatuh ke lantai. Suaranya terdengar begitu dingin, tajam dan juga mengerikan. Sangat berbeda, ketika berbicara dengan dirinya. Detik itu juga, Dixie merasa peluru itu salah sasaran. Situasi dan keadaan membuatnya lupa akan ucapan singkat dari Devaro.

Seseorang berdiri di hadapannya, Dixie yang tengah duduk di kursi tunggu seraya tertunduk langsung mendongak. Mendapati sepasang mata biru yang menatapnya dengan begitu dalam. Tangan berototnya terulur dengan sebotol air mineral, dengan kemeja yang di tempeli bercak darah di beberapa tempat. Dada Dixie terasa sesak, itu darah Ibunya.

"Minumlah!" Suara maskulin itu mengalun di telinga Dixie. Terdengar begitu jantan dan seksi.

Damn! Ini bukan saat yang tepat untuk mengagumi seseorang, batinnya.

"Who are you?" Suara Dixie seperti bergumam pelan.

Dixie berdiri, tanpa melepas tatapan tajamnya. Sedangkan yang ditanya nampak tak bergeming untuk menanggapinya.

"Siapa sebenarnya kamu Dev? Penembakan tadi pasti ada hubungannya dengan kamu atau Mark. Mungkin juga, sebenarnya kalian berdua yang menjadi incaran. Bisa jelaskan sesuatu? Jangan diam saja!" cerca Dixie.

"Panggil aku Jaden," Hanya itu yang keluar dari bibir pria bermata biru ini.

"Persetan! Aku tidak peduli, nama mu Devaro ataupun Jaden. Aku bertanya, siapa kamu?" Desis Dixie.

Jaden kembali mendekatkan botol air mineral ke tangan Dixie. "Minumlah! Setidaknya ini bisa membuatmu sedikit tenang."

Mata Dixie berkabut amarah. Bibirnya membentuk segaris tipis. Ia menepis kasar botol di tangan Jaden, hingga terlempar beberapa meter dengan air yang berserakan di lantai.

"Dua peluru bersarang di perut dan bahu Ibu ku, karena insiden mengerikan tadi. Didalam sana," Dixie menunjuk pintu ruang operasi. "Ibu ku bertaruh nyawa, bagaimana bisa aku tenang? Jika itu penembakan acak, kenapa diantara banyaknya jendela hanya jendela di dekat ku, di dekat kita yang pecah. Itu pasti ada hubungannya dengan salah satu di antara kalian," Kali ini Dixie memukul brutal dada Jaden. Dan pria itu membiarkan Dixie meluapkan amarahnya.

Air mata berderai membasahi pipi Dixie. Pukulannya melemah, lalu tubuhnya merosot dan terduduk di lantai. Tidak peduli lagi tindakannya menjadi pusat perhatian. Hatinya bagai teriris belati tak kasat mata, membayangkan apa yang tengah di rasakan oleh sang Ibu.

Love Prince DemonioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang