#1 Menolak Masuk Pesantren

47.4K 1.4K 83
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم

"Keridhoan Allah itu terletak pada keridhoan orang tua dan murka Allah itu terletak pada murka orang tua."

( H.R At-Tirmidzi )
.
.
.
Happy Reading


“Nasya!” Tiba-tiba saja suara wanita membuyarkan lamunanku saat mengingat mimpi yang berkelana menemani tidur yang seketika menjadi tak nyenyak beberapa hari yang lalu. Aku mengerjapkan mata, mencoba menatap kenyataan di depan mata dan menepis bayang mimpi itu.
         
“Pesantren adalah pilihan terbaik untukmu!” Wanita itu adalah Umi. Ya, beliau tampak benar-benar emosi karena diriku sudah berulang kali menolak perintah kedua orang tuaku untuk dimasukkan ke pondok pesantren.
         
Sangat tidak menyukai kehidupan pondok pesantren, itulah yang menjadi alasanku menolak perintah Umi dan Abi. Aku sama sekali tidak ingin memijakkan kaki di lingkungan yang dipenuhi dengan berbagai macam peraturan itu.
         
Ditambah lagi bayang mimpi yang masih sangat terngiang jelas dalam benak. Ya, aku bermimpi dihukum dengan sangat kejam oleh dua wanita hanya karena tidak salat berjamaah. Aku takut jika mimpi itu benar-benar terjadi di kemudian hari saat aku mulai melangkahkan kaki di pondok pesantren luaran sana.
         
Nasya Khanza Aulia, itulah namaku. Bungsu dari dua bersaudara yang kini tengah duduk di bangku sekolah menengah atas kelas XII IPA 2 semester satu. Menjadi anak seorang kiai ternama, tidak membuatku terlalu fanatik terhadap agama. Justru malah sebaliknya.
         
Aku sangat berbeda dengan Mas Fahri Khanza Abqary—kakakku. Meskipun lelaki, dia begitu menjunjung tinggi adab dan sopan santun. Saat ini pun dia tengah menempuh kuliah khusus tahfidz di pondok pesantren milik sahabat Umi dan Abi. Sementara aku? Tak perlu ditanyakan lagi. Adab dan sopan santun terkadang menghilang entah ke mana, pondok pesantren pun menjadi tempat yang sangat tak kusukai.
         
“Aku enggak mau, Umi.” Entah sudah berapa kali kalimat ini terlontar dari mulutku. Tentu saja bukan hanya sekali dua kali.
         
“Kalau kamu enggak mau masuk pesantren, tingkah lakunya diubah! Perempuan, kok, tingkah lakunya kadang seperti laki-laki. Jadi perempuan itu yang kalem, anggun, dan tahu adab sopan santun. Laki-laki saja tahu adab dan sopan santun, kok. Kalau enggak suka sama orang itu cukup tutupi dengan senyum, jangan malah blak-blakan,” gumam Umi, meskipun masih lembut, tetapi kali ini nada bicara beliau sudah naik satu oktaf.
         
Beberapa hari yang lalu, aku sempat melakukan kesalahan besar, yaitu mengatakan terang-terangan kepada wali santri yang sedang pamit membawa anaknya pulang kalau anaknya itu kelakuannya benar-benar memuakkan. Aku tidak peduli apa yang akan terjadi ke depannya, intinya aku benar-benar tidak suka dan sudah muak dengan kelakuan santri itu.
         
Bagaimana tidak. Bisa-bisanya dia mengatakan kalau aku sebagai anak kiai, justru merupakan perempuan tidak benar. Hanya karena berteman dengan banyak lelaki di luaran sana. Oke, aku mengaku, bukan termasuk perempuan yang sangat baik dari segi agamanya. Akan tetapi, tak sekalipun diriku bersentuhan dengan lelaki lain kecuali Abi dan Mas Fahri.
         
Lebih memuakkannya lagi, dia mengatakan itu di hadapan umum saat tak sengaja bertemu di luar pondok—saat itu dia berencana kabur. Bagaimana aku tidak kesal, dia benar-benar hampir, bahkan sudah menjatuhkan harga diri seorang Nasya.
         
Ya, karena kejadian itu Umi dan Abi semakin gencar menitipkanku di pondok pesantren lain. Padahal, Umi dan Abi pun mempunyai pondok pesantren sendiri. Kenapa semua anaknya harus dimasukkan ke pondok pesantren milik orang lain? Entahlah. Kata Mas Fahri, supaya anak-anaknya Umi dan Abi mandiri. Mandiri itu ... mandi sendiri, kan? Kalau itu, sih, tentu saja aku bisa.
         
Dari pondok pesantren milik Umi dan Abi juga aku menjadi sama sekali tidak ingin tinggal di pondok pesantren. Sekali lagi, peraturannya yang beragam dan ketat menjadi alasan gadis tidak penyuka ribet dan tak suka diatur sepertiku ini enggan untuk tinggal di dalamnya.
         
Aneh memang. Padahal, aku pun sejak kecil sudah hidup di lingkup pesantren. Seharusnya sudah terbiasa. Akan tetapi, entah kenapa bisa tidak suka seperti ini.
         
“Ambil baiknya saja. Umi, kan, sudah enggak muda lagi. Aku di rumah saja, membantu Umi bersih-bersih pesantren. Kalau anak Umi mondok di tempat lain semua, nanti Umi sama Abi di sini enggak ada yang mengurus.” Kalau dengan menolak secara terang-terangan tidak bisa, aku akan mencoba cara halus.
         
“Enggak bisa, Cantik. Kalau enggak, ya, kamu mondok di sini. Pindah sekolah di sini, ikut kegiatan pondok seperti santri lainnya.” Umi pun tak kalah halus lagi.
         
“Enggak, Umi. Nasya sekolah di luar saja dan Umi, kan, tahu sendiri kalau Nasya enggak suka hidup layaknya santri di pondok pesantren. Nasya enggak sekebal itu sama peraturan, bisa-bisa Nasya sakit. Umi mau anaknya sakit? Kan, Umi juga yang repot.” Aaa! Aku sudah sangat geram dengan drama ini. Bisakah aku tenggelam saja ke benua antartika?
         
“Enggak bisa. Pikirkan lagi keputusanmu! Main ke asrama santriwati, tanya sama mbak-mbak di sana tentang pondok pesantren. Pasti ada kebahagiaan tersendiri. Lah, kamu mainnya di dalam rumah sama di luar pondok terus. Bagaimana mau mengetahui seluk beluk pondok pesantren. Jangan menilai apa-apa itu secara sekilas, jangan hanya dengan sebelah mata. Kamu itu punya mata, telinga, kaki, tangan, dan lainnya digunakan. Jangan maunya tahu sesuatu secara instan,” tutur Umi dengan tegas dan berlalu pergi tanpa mengucapkan sepatah kata lagi. Ya, iyalah. Kan, semuanya sudah diucapkan lancar hanya dengan satu tarikan napas.
         
“Umi, mataku masih dua, loh. Siapa yang memandang sebelah mata?” tanyaku setengah berteriak.
         
“Itu hanya peribahasa, Nasya. Anak siapa, sih, kamu?” Bukan Umi yang menyahut, melainkan Abi yang tiba-tiba saja sudah berdiri di belakangku. “Sudah, sana. Katanya ada acara sama teman-teman SMP kamu,” lanjut beliau seraya mengulas senyum.

Kutukan Cinta Gus Tampan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang