Alisa || Chapter 22

368 12 0
                                    

HappyReading!!

Vano turun dari tangga, pria itu sudah siap dengan kemeja hitam bermotif miliknya juga celana jeans hitam yang di padukan dengan sepatu kets hitam putih membuat penampilan pria itu terlihat tampan dari biasanya, tak lupa tas yang ia sampirkan di bahu kirinya.

"Woy, jomblo." teriak Wia memanggil pria itu.

Vano tak menggubris, pria itu terus berjalan ke arah dapur tak memedulikan panggilan kakaknya.

Wia berdecak kesal, menyusul adiknya ke arah dapur berniat melakukan sarapan bersama adik tercintanya.

"Telinga lo udah ngak berfungsi?" tanya Wia sinis, menatap Vano yang sibuk menyantap roti isinya.

Vano melirik kakaknya sebentar sembari mengerutkan dahinya merasa bingung.

Vano melirik ke arah kanan lalu ke.kiri seperti mencari seseorang. "Lo ngomong sama gue?" Vano menunjuk dirinya sendiri seraya mulutnya masih sibuk menguyah rotinya.

"Ck, pa, liat Vano tuh." Wia merengek dengan kesal, gadis itu duduk di samping papanya-Freddy yang baru saja datang.

"Kenapa? Papa liat, Vano lagi makan." balas Freddy menatap Vano sebentar lalu beralih menatap Wia, anak sulungnya.

"Pa." rengek Wia manja, memakan rotinya dengan wajah kesal.

Vano bergidik ngeri, pria itu berdiri hendak beranjak.

"Pa, Vano berangkat kuliah dulu." pamit Vano menyalim tangan Freddy lalu beranjak dari tempatnya.

"Eh, lo ngak pamit sama gue." teriak Wia menahan pria itu.

"Lupa, gue pergi dulu." pamit Vano datar lalu segera beranjak.

"Oh, iya." Vano menghentikan langkahnya saat pria itu teringat sesuatu. "Ngak usah manja, kak. Lo udah punya dua anak." setelah mengetakan itu Vano benar-benar beranjak dari tempat menuju garasi.

"Emang sialan tuh anak." gumam Wia lirih, gadis itu menatap kepergian Vano dengan tatapan sinis.

Freddy hanya menggelengkan kepala melihat tingkah kedua anaknya, tapi pria itu kembali menghembuskan napasnya pelan saat teringat anak bungsunya. Andai ia juga ikut bergabung di sini pikir pria paruh baya itu.

>_<

Gavin turun dari mobil, seragam pria itu sudah sangat kusut dengan rambut acak-acakan khasnya.

Gavin mengerutkan keningnya saat melihat pintu rumahnya terbuka lebar, siapa yang berani masuk ke dalam rumahnya? Dengan langkah cepat pria itu memasuki rumahnya dan mendapati seorang pria yang sedang tiduran di sofa ruang keluarga miliknya.

"Udah pulang lo?" tanya pria itu masih menutup matanya membuat Gavin sedikit terpelonjak karena kehadiran kakak laki-lakinya.

"Ngapain lo di rumah gue?" tanya Gavin, nada suaranya terdengar tak bersahabat seperti mencari keributan.

"Pengen aja." jawabnya santai masih dengan menutup kedua matanya. Tak ada rasa bersalah yang ia tunjukkan sama sekali.

Gavin berdesis, kehadiran kakaknya ini selalu bisa membuatnya kesal.

"Keluar lo!" usir Gavin dengan nada membentak. Menunjukkan secara terang-terangan ketidak sukaannya atas kehadiran kakaknya.

Pria itu bangun dari posisi tidurnya, ia menatap Gavin dengan tatapan yang tak bisa Gavin artikan.

"Ngak sopan sama kakak, kurang didikan bangat lo." ujar pria itu mengejek seraya menggelengkan kepalanya singkat.

"Lo masih ngak mau pulang, Vin?" tanya pria itu mengangkat kedua kakinya di atas meja, berlagak seperti bos besar.

"Apa pedulinya lo kalau gue ngak pulang?." Gavin membalas masih dengan nada sewotnya.

"Gue sih B aja, cuman gue kasihan sama bokap yang suka mikirin anaknya yang ngak tau diri ini." celetuk pria itu berusaha sesantai mungkin.

Gavin tak langsung menjawab, pria itu kembali teringat dengan wajah papanya.

"Apa lo bilang?" Gavin menaikkan oktaf suaranya.

"Lo tuli?" pria itu melirik ke arah Gavin yang kini memasang tampang kesalnya.

"Dari pada lo ntar darah tinggi, mending gue pulang." pria itu berdiri dari posisinya seraya mengeluarkan sesuatu dari saku celana jeansnya.

"Nih duit, buat lo makan biar tetap hidup." pria itu meletakkan amplop bewarna cokelat yang sedikit tebal di atas meja.

Pria itu menyampirkan tasnya di salah satu bahunya. "Ngak usah berterima kasih, gue emang kakak yang baik." setelah mengatakan itu pria itu pergi meninggalkan Gavin dengan ekspresi cengonya. Gavin menatap kepergian kakaknya, pria itu melirik amplop itu sebentar lalu menghembuskan napas gusar.

"Kakak, sialan." umpat Gavin melempar tas sekolahnya ke sembarang arah. Pria itu mengacak-acak rambutnya merasa prustasi.

Gavin duduk di sofa yang kakaknya tempati tadi, pria itu memijat keningnya yang terasa pening

"Gue sih B aja, cuman gue kasihan sama bokap yang suka mikirin anaknya yang ngak tau diri ini."

Ucapan kakaknya tadi terus terngiang di otaknya, yang semakin membuat kepalanya bertambah pening.

"Bangsat!" Gavin menendangkan kakinya ke depan yang mengenai ujung meja.

"Aashh, siapa sih yang naro meja di sini." protes Gavin kesal beranjak dari tempatnya berniat membersihkan badannya yang terasa lengket. Pria itu mengusap kakinya sebentar.

>_<

Vano baru saja pulang, jam sudah menunjukkan pukul 20.54

"Ingat jalan pulang lo?" suara Wia mengintrupsi kegiatan pria itu.

Vano tak menggubris, pria itu melanjutkan kembali jalannya menuju kamarnya.

"Oh, iya, kak." Vano menghentikan langkahnya saat ia teringat sesuatu.

"Kenapa?" tanya Wia menaikkan salah satu alisnya.

"Gue pengen nanya, deh." ujar Vano dengan nada seriusnya.

Wia memicingkan matanya curiga. "Apa?"

"Kak Nando kapan pulang dari Semarang?" tanya Vano serius membuat Wia mengerutkan keningnya semakin merasa curiga.

"Kenapa emang?" bukannya menjawab, Wia malah balik bertanya.

"Gue nanya, kapan?" Vano berujar masih dengan nada serius, kali ini ia sedikit mendesak.

"Bulan depan, kenapa sih? Lo kangen?" Wia ikut mendesak Vano dengan rasa penasarannya.

"Masih lama, ya." ujar Vano mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti.

"Emangnya kenapa, sih?" desak Wia semakin curiga.

"Jadi selama sebulan kakak di sini?" Vano kembali bertanya yang mendapati anggukan singkat dari kakak sulungnya. "Iya."

"Lo dari tadi nanya gitu, kenapa, sih?" Wia kembali bertanya, rasa penasaran dan juga curiga dengan adiknya.

"Ngak apa-apa, sih. Cuman lo berisik bangat kalau di sini. Di rumah cuman bertiga tapi berasa sekampung." jawab Vano dengan ekspresi santainya, setelah itu ia kembali melanjutkan langkahnya menuju kamarnya, meninggalkan Wia dengan ekspresi yang tidak bisa ia artikan.

Wia mengerjapkan beberapa kali matanya, tersadar akan ucapan adiknya itu. "Wah, ngak bisa gue di giniin."

******

Haeeee, aku update lagi. Alhamdulillah, ya. Gimana sama part kali ini? Dapat feelnya?

Finally, aku bisa update juga, wkwk. Semoga suka dengan part kali ini, ya. Jangan lupa vote dan kommen, oke? Sorry for typo and thanks for reading:)

AlisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang