"manusia tak pernah luput dari dosa, tapi Allah tak pernah menutup pintu taubat untuk dia yang mau menjadi lebih baik. "
I. A. M. U.
Selepas fitting baju pengantin ara akhirnya bisa istirahat dengan tenang, meski bukan dirinya yang jadi pengantin, tapi ara yang mencoba gaun itu, lucu sekali menurutnya.
Dia yang mendoakan ternyata jodohnya sama orang lain. Dan orang lain itu adalah sahabatnya. Ara menertawakan nasibnya sekilas. Lalu beristigfar dalam hatinya. Semoga ini yang terbaik untuknya, ia harus menghentikan doanya untuk bersama ustadz irsyad. Karena beliau sekarang adalah calon suami sahabatnya. Meski ifa sudah tak menganggap dirinya sahabat Lagi.Karena yang mengatur jodoh adalah Allah. Kita sebagai manusia harus bisa pasrah dan berserah diri. Sebab yang menurut kita baik, belum tentu dia baik Di mata Allah.
Setelah bermain main dengan pikirannya, ara memilih membaringkan tubuhnya di kasur yang ukurannya tidak bisa dibilang tebal, biasa, hidup dipesantren harus serba sederhana. Meski ukuran kasurnya kecil, itu masih cukup nyaman untuk ditiduri. Dan ya, kita harus banyak banyak bersyukur. Diluaran sana banyak orang yang putus sekolah Dan tidak memiliki tempat tinggal layak.
***
"halo Rey, bisa bantuin aku nggak?. " ifa. Gadis itu nampaknya sedang menghubungi seseorang.
"iya, dong. Pastinya. Gue akan ajak dia buat keluar dari pesantren itu, setelahnya gue serahin tugas itu buat Lo. " smirk devil yang ia tunjukkan, pastinya akan membuat orang orang disekitarnya menjadi takut. Tapi sayangnya tak ada yang mengetahui niat buruknya itu.
"iya, gue gak akan mutusin Lo, lo tenang aja ,asal kerjaan lo beres. See you. " ifa mematikan sambungan teleponnya. Ia berharap rencananya berjalan dengan mulus. "jangan harap lo bakal lolos dari gue,ara." sirat kemarahan terpancar dari mata ifa, kemudian dirinya bersiap siap, melancarkan aksi liciknya itu.
Dengan kecepatan sedang, ifa melajukan mobilnya menuju area pesantren. Bagaimanapun caranya ia harus bisa membuat ara keluar dari pesantren.
"assalamu'alaikum. "ifa, gadis itu tak langsung menemui ara. Dia memilih untuk pergi ke ndalem dan bertemu dengan umi Maryam. Dengan gamis panjang berwarna maroon dipadukan dengan hijab yang senada. Dia terlihat cantik, apalagi ditambah dengan sikap nya yang sopan dihadapan keluarga ustadz irsyad, membuat keluarga tersebut kagum. Tapi sayang sikapnya itu hanya sebatas sandiwara.
"waalaikum salam. " terdengar suara bariton dari balik pintu ndalem. Ifa sudah menebak pasti itu adalah ustadz irsyad. Calon suaminya. Ifa benar benar eneg saat membayangkan ustadz irsyad akan menjadi suaminya. Bukannya ia tidak suka kepada ustadz irsyad, hanya saja rasa benci yang ada dalam diri ifa itu tak bisa dihilangkan.
"ustadz, umi maryamnya Ada?. " ifa memulai obrolan, sebenarnya ia tak suka berada di ndalem ini. Tapi demi rencanya ia harus bersikap seolah olah dirinya wanita yang sopan dan lembut.
Ustadz irsyad tersenyum kemudian mengangguk pelan. "ada Mari masuk, saya mau manggil umi Dulu." sembari mengajak ifa masuk ,beliau kemudian memanggil uminya yang mungkin sedang memilih milih desain untuk acara pernikahan.
Ifa kemudian berjalan membuntuti ustadz irsyad menuju ruang tamu. Saat sampai diruang tamu ustadz irsyad berhenti kemudian berbalik menghadap ifa, membuat gadis itu terkejut dan hampir menabrak dada bidang milik ustadz irsyad.
"maaf maaf, hampir aja kamu jatuh, gara gara saya berhenti mendadak." ifa hanya menanggapi dengan senyuman manisnya. Kemudian dia duduk disofa yang ada di ruang tamu tersebut sambil menunggu umi maryam."eh ada menantu umi. " saat ifa sedang sibuk men- scroll layar ponselnya, tiba tiba saja ada umi maryam yang berdiri tak jauh dari sofa yang ia duduki. Sedetik kemudian ifa langsung meletakkan kembali ponselnya dan segera bangkit untuk menyalimi calon mertuanya itu.
"ada apa nduk?. " umi maryam bertanya pasal kedatangan calon menantunya itu. Sembari mempersilahkannya duduk kembali. "pengen ketemu calon suami mu to nduk?." mendengar perkataan umi maryam sebenarnya ifa merasa geli, ia benar benar tak suka berbasa basi seperti ini. Dengan menampakkan senyum palsunya ifa kemudian menjawab. "ih apaan sih umi, ifa kesini tuh mau ketemu sahabat ifa. Ara. Boleh kan umi?." umi maryam tidak mengetahui jika ifa dan ara saat ini sedang tidak akur, karena yang ifa adu domba saat ini adalah ustadz irsyad dan ara. Meskipun begitu ifa masih berpura pura baik kepada sahabatnya saat bersama ustadz irsyad.
"ya pasti boleh lah, kamu kesananya sendiri atau mau dianterin." ifa menggeleng kemudian tersenyum sedikit. "gak usah umi, saya sendiri aja kesananya. "tolak ifa halus. Kemudian dirinya beranjak dari tempat duduk dan segera berpamitan kepada umi maryam. "kalau gitu, ifa pamit mau ke ara dulu umi. Assalamu'alaikum. " pamit ifa dan segera keluar dari ndalem. Diikuti umi maryam dibelakangnya. "iya, waalaikum salam." balas umi Maryam, wanita paruh baya tersebut tersenyum. Ia berharap ifa bisa menjadi istri yang baik untuk putranya.
***
Ifa yang tengah mencari ara, nampak sibuk bolak balik asrama. Ia tidak melihat ara dikamarnya maupun kamar santri yang lain. Ifa nampak kesal. Jangan sampai gara gara tidak menemui ara hari ini rencananya akan gagal. Kemudian ifa terlihat menemui santri yang sedang membawa kitab. Ia tak peduli akan kemana santri itu pergi. Yang penting sekarang ia harus menanyakan keberadaan ara sekarang. Dengan langkah terburu buru, ifa menyamai langkahnya dengan santri tersebut, kemudian dirinya menghentikan langkah santri itu.
"eh, tunggu. Aku mau bicara. " mendengar suara panggilan itu membuat santriwati tersebut menghentikan langkahnya.
"enjeh, sampeyan iku sopo ?. " tanya santriwati tersebut. Ifa tak ingin berbasa basi, namun ia tak boleh menurunkan karismanya sebagai calon istri dari ustadz irsyad. Pewaris pesantren al maulana. "kenalin saya ifa, calon istrinya ustadz irsyad. " memang banyak yang tahu jika ustadznya itu dijodohkan. Tapi banyak juga yang tidak tahu siapa calon istrinya tersebut.
"calon istrine ustadz irsyad?. " tanya santri itu, raut wajahnya seperti tak percaya. Tapi juga kagum. Ifa mengangguk, kemudian tersenyum. Yang jelas senyum itu bukan senyuman tulus."wah, ayune sampeyan. Ada perlu nopo to?" (wah, cantik banget kamu, ada perlu apa ya? ) santri itu bertanya Lagi. "mm,kamu liat ara nggak?." santriwati tersebut nampak berpikir, kemudian menjawab pertanyaan ifa.
"aku tadi liat, kayaknya dia lagi ada nang masjid deh, denger ceramah pagi dari kyai yahya." ifa menarik nafas frustasi, apa iya rencananya harus gagal. Percuma dong dirinya jauh jauh dari rumahnya hanya untuk kegagalan seperti ini. Tanpa pamit kemudian ifa segera pergi dari hadapan santri itu. Dirinya yang sedang kesal pun tak berpamitan pada keluarga ustadz irsyad, dan langsung melajukan mobilnya, entah kemana ia akan pergi.***
Malam yang gelap ditambah pekatnya mendung, membuat suasana menjadi dingin dan senyap. Arya, yang sedang dalam perjalanan pulang dari kantornya tak sengaja melihat seorang wanita yang berpenampilan kurang bahan sedang bersama dengan laki laki hidung belang. Tak ingin ikut campur aryapun melajukan kendaraannya. Sesaat sebelumnya, arya seperti mengenal wanita itu. Ia pun memilih berhenti sejenak dan memperhatikan wanita itu baik baik.
"ifa" arya benar benar tak percaya dengan apa yang dilihatnya kali ini. Ifa, menurutnya dia gadis yang baik, sama seperti adiknya. Dan sekarang kemana hijab dan baju panjang yang biasa ifa kenakan. Kenapa baju yang dipakai sekarang seperti kekurangan bahan. Sedangkan ifa yang dipanggil tak nampak terkejut sama sekali dan sepertinya ifa tak ingin menjawab keterkejutan arya.
Dengan sedikit kasar arya menarik tas yang dipakai oleh ifa, membuat gadis itu marah.
"lo apa apaan sih bang."setelah sedikit menjauh arya melepaskan tarikannya, kemudian menarik nafasnya kasar. "kamu yang apa apan fa, liat penampilan kamu. Astaugfirullah fa. Kamu kenapa bisa jadi kayak gini. " tersirat rasa kecewa dimata arya, dia sudah menganggap ifa lebih dari sekedar teman adiknya. Bahkan mungkin sekarang sudah mulai tumbuh perasaan yang tak dapat arya ungkapkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Izinkan Aku mencintaimu Ustadz
RandomCerita Fiksi!!! (Ada yang direvisi ulang) "jangan salahkan orang lain jika Kita merasa tersakiti, intropeksi dirilah, mengapa Kita terlalu berharap pada manusia, jika tuhan senantiasa bersama."