Babu, My Baby

274 11 10
                                    

Aku menahan nafas diam-diam. Benar-benar mengatur jalan nafasku dengan susah payah. Diakah itu? Kenapa waktu seperti tidak merubah banyak bentuk fisiknya? Aku sudah berpikir untuk berbalik tidak jadi menemuinya,kalau saja anakku tidak berkata: "Sepertinya itu temen umi." Frad,anakku,menunjuk ke bangku dimana seseorang sedang duduk sendiri memperhatikan hp nya.
      Aku memegang lengan anakku dan sedikit mengangguk. Perlahan sekali aku melangkahkan kakiku mendekat....
      Cukup lama aku berdiri mematung tanpa tahu harus berbuat apa. Menyapanya atau ....
      "Lies ... ?!"
      Seperti hendak copot jantungku mendengarnya. Dan begitu aku sadar,aku melihatnya sudah berdiri di depanku,siap memelukku. Dengan alasan setelah berpuluh tahun kami baru bertemu kembali,seharusnya  sikapku lebih dari apa yang dilakukannya. Tidak cuma balas memeluknya,sekaligus juga tidak melepaskannya. Tapi apa yang kulakukan adalah ....
      "Jangan!" Aku mengangkat tanganku,berusaha menahan agar dia jangan memelukku.
      "Aahh ...." Dia tersenyum. Tidak nampak tersinggung.
      "Anakku ...." Aku buru-buru menarik lengan Frad. Mengenalkannya. "Frad,anakku yang kedua."
      Kulihat senyumnya makin mengembang menyalami anakku. "Saya teman ibumu."
      Aku bahagia sebetulnya. Amat sangat bahagia atas pertemuan kami. Melihatnya kembali setelah hampir tiga puluh tahun lebih. Tapi entah kenapa ganjil sekali rasanya .................
                      
                                          ---------
1984
       Aku baru saja lulus dari masa-masa putih biruku. Dan dengan tidak banyak pikir aku lantas melanjutkan SMAku di tempat yang sama. Tempat yang bukan hanya mengenalkanku pada bangku sekolah akan tetapi juga doktren. Pondok Pesantren. Ya aku bersekolah sekaligus juga mesantren. Sebentar,pondokku tidak membolehkan tiap santrinya berkata itu. Kita hanya boleh menggunakan kalimat Mesantren sambil sekolah bukan sekolah sambil mesantren. Maksudnya sederhana,jangan sampai kepentingan akan ilmu akhirat kalah oleh ilmu dunia. Ilmu agama harus nomer satu.
      Begitulah,kamarku di bawah,nomer kamarnya empat. 4 bawah. Aku kira kamarku hanyalah simbol belaka. Cuma tempat aku menyimpan kitab dan buku-buku serta pakaian. Selebihnya aku lebih banyak melanglangbuana. Menjelajah kamar demi kamar hanya untuk menumpang tidur. Dan aku punya kamar favorit untuk hobiku itu. Kamar 5 bawah. Tetangga kamarku, 4 bawah.

Babu, My BabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang