Emak

6 1 4
                                    

      Kang Acep menyapu peluh di dahinya diam-diam. Wanita paruh baya yang ditemuinya itu benar-benar gambaran Lies. Wajahnya, gaya bicaranya, aksennya ... Kang Acep serasa ketemu dengan Lies di masa depan. Apakah itu yang bikin dahi Kang Acep lantas berkeringat ? Bukan. Dengarlah,
 
      "Anak ema mah banyak. Empat belas. Mati empat idup sepuluh."
     
      Kang Acep menelan ludah mendengarnya. Mati ? Di kepalanya segera berkelebatan hewan-hewan. Bukan manusia.

      "Dari yang sepuluh itu, Lies anak ke delapan. Babanya kaga waktu dia umur SD ...."

      Jadi Lies yatim ? Sekarang, Kang Acep bukan hanya menelan ludah. Mulai berkeringat juga. Dan keringat itu makin deras mengucur saat obrolan dengan Emak hampir mendekati pokoknya kala Kang Acep sengaja bertanya tentang Lies.

      "Laahh dia kan sekolah di Tasik di pesantren apa namanya itu ... ? Pokoknya di Tasik. Dia sendiri yang pilih, ema mah ngikutin aja dah kemaoan anak. Yang penting bener ...."

      "Sampai sekarang, Mak ?" Kang Acep bertanya dengan perasaan yang mulai tidak enak. "Lies masih di pesantren itu ya ? Dia gak pindah gitu ?"

      "Nggak. Lies masih di situ. Buat apa pindah-pindah ??"

      Dari pembicaraan itu, Kang Acep insaf membaca gelagat. Lies menutup rapat-rapat permasalahannya kepada keluarganya. Dan itu makin dipertegas saat dia berpura-pura minta alamat pesantren Lies, alamat yang ditulis oleh adik Lies adalah pesantrennya sendiri.
     O, Liiiieess ... Kang Acep mengacak-acak rambutnya. Dia benar-benar tidak tahu, harus marah atau justru harus mengaguminya. Yang jelas Kang Acep sampai tidak berani mengungkap jati dirinya yang sebenarnya saat Emak bertanya siapa dirinya. Dia hanya berani bilang kalau dia adalah teman Lies. Tidak lebih.

     Maaf Emak ... Maafkan !

     

     

Babu, My BabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang