Dari jauh sebetulnya aku sudah mengenali sosoknya, Yun. Dia sedang menunggu antrian mandi sore. Entah diurutan yang ke berapa. Tapi yang tidak aku perhitungkan adalah wajahnya. Saat aku sampai depan pintu kamar mandi dan menaruh panyiukku di tanah, di belakang panyiuk-panyiuk yang telah siap mengantri tentunya.
"Hai," aku tersenyum lebar. Yun berusaha balas tersenyum tapi sial, senyumnya malah patah di tengah jalan. Dia meringis seperti tengah menahan sesuatu.
"Kamu pengen boker ya?" kataku sembarangan.
Yun mengangguk. Ngerti juga dia bahasa preman. Aku spontan melihat ke bawah dimana panyiuk berjajar dan mulai berhitung ... Ke tujuh! Dia pasti keburu berak di celana jika harus sesuai antrian panyiuk. Tergesa aku mulai mengetuk pintu kamar mandi satu persatu yang jumlahnya ada enam itu. Semua dengan pertanyaan sama.
"Ieu saha dilebet? Nuju naon?"
Kamar mandi ke lima, belum lagi aku mengetuk, pintu kamar mandi sudah terbuka.
"Ina?" Begitu aku mengenali orang yang hendak keluar kamar mandi itu. "Saha di jero?" tanyaku lagi begitu menyadari masih ada yang sedang mandi di dalam.
"Tita. Mau apa si kamu?"
"Eehh Tita. Taaaa ... " aku teriak suka hati. Tidak hirau pada pertanyaan lna. "Ikutan ee yaaa???"
"Yun!" Tidak peduli dengan jawaban Tita, setuju atau tidak, aku melambaikan tanganku pada Yun. Ketika dia nampak bingung sambil menatapku. Aku kembali melambaikan tanganku.
"Siniiii!" Teriakku tak sabar. "Pengen boker kan? Masuklah!" Cepat aku berkata begitu Yun mendekat. Tapi Yun malah melongok kamar mandi kemudian berganti lagi menatapku penuh tanya.
"Pilih berak di celana ya? Cepetan jangan kebanyakan mikir. Ini bukan di rumah!" Aku setengah mendorong tubuh rampingnya agar masuk kamar mandi. Kemudian kataku kepada santriwati yang banyak mengantri itu; "Maaf nyelang bentar ya? Yaaa??"