Pintu terbuka, dan aku langsung disambut dengan sindiran riuh anak-anak kamar 5 bawah begitu melihat tamunya.
"Mmhh kebiasaan ...."
"Kasi salam kee ...."
Aku cuma ketawa lebar mendengarnya. Aku kira semua tahu kebiasaan burukku ini. Wala salam wala kalam lantas maen dorong pintu. Aku tahu ini bukan kamarku. Tapi andai aku beri salam pun mereka pasti akan bosan sendiri menjawabnya. Karena dalam sehari aku bisa 3 sampai 5 kali datang berkunjung ke kamar ini.
"Nii baso untuk Ceu Ai Didah," dengan polosnya aku simpan baso di atas pangkuan Ceu Ai Didah yang sedang duduk setengah bersila.
"Aww ...." Ceu Ai Didah refleks menjiwir baso yang kuberikan. "Panas Lies."
"Pasti. Yang adem itu es." Aku berkata cuek.
"Buat Yuli mana?" Yuliah temanku asal Bandung protes.
"Beli sendiri sana!"
"Aahh jahat bener. Ceu Ai dikasi masa Yuli harus beli sendiri?"
Aku tertawa. "Kongsi ma Ceu Ai oke?"
Semua tahu tanpa diingatkan pasti baso itu akan jadi buruan anak-anak sekamaran. Kebayang kan baso satu direbutin banyak orang? Begitulah. Hidup dengan banyak orang, kita juga harus siap berbagi dalam banyak hal. Terlebih makanan. Kadang yang beli satu yang nimbrung sekompi. Seperti sekarang ....
Aku sedang asik menikmati pemandangan lucu di depanku, melihat anak-anak berbagi baso, ketika mataku tanpa sengaja menatap ke sudut kamar. Si manis itu ....
Aku tertawa geli di hati. Santri baru itu pasti merasa aneh dengan pemandangan di depannya.
"Heh," aku menyiku tangannya dengan tanganku. "Jangan aneh. Sebentar lagi kamu pasti terbiasa. Memang keliatan agak jorok. Tapi begitulah hidup di sini. Bahkan ini belum seberapa jika dibanding dengan kejorokan-kejorokan lain yang nanti akan kautemui ...."
Si manis itu hanya menyuguhkan senyum sebagai jawaban. Jual mahal rupanya.
"Aku lupa. Siapa namamu kemarin?"
"Yun ... Panggil Yun."
Alhamdulillah wa Syukurilah, dia tidak gagu ternyata.
"O ya ... Aku Lies. Tahu kan??"
Lagi-lagi Yun tersenyum. Mengangguk.
"Sayang kamu ke MAN. Kalau masuk SMA kita pasti bareng." Aku melanjutkan kata-kataku. Dan ketika dia lagi-lagi hanya tersenyum, aku baru menyesali kata-kataku. Bukan type yang asik diajak ngobrol rupanya. Pemalu sekali dia.
"Kamu bikin dia takut, Lies." Teh Tati rupanya memperhatikan kami. Aku tersenyum mendengarnya dan melempar Teh Tati dengan bantal. Setelah itu santai saja aku melenggang keluar kamar. Aku tahu, si Manis itu mengiringi langkahku dengan tatapannya.