Ke Bi Mala ternyata Yun hanya melihat Lies mengambil beberapa potong cireng, uli goreng, pisang goreng serta tentu saja minumannya; dua kantong plastik es orson. Habis itu Lies menarik tangannya ke suatu tempat. Ke sebuah pohon rindang.
"Ini pos rahasiaku dan teman-teman. Mumpung si Jocky si Salamah lagi ikut pulang ke kampung si Odah di Subang. Maen ...."
Yun tersenyum mendengar keterangan itu. Tapi sepertinya dia malah lebih tertarik hal lain.
"Kamu jajan sebanyak ini ....?"
"Yaa kenapa? Mumpung baru dapat wesel dari emak. Sekali-sekali jajan banyak gak apa-apa kali, Yun. Daahh makan ajh ...."
Yun lagi-lagi hanya bisa tersenyum. Tapi kemudian diambilnya sepotong cireng dengan malu-malu.
"Terima kasih Lies," ucapnya pelan. Dan Lies lantas balas tersenyum mengangguk sementara mulutnya sibuk mengunyah.
"Maaf sikapku belakangan ini ya?" Lies membuka kata diantara kesibukannya mengunyah. "Aku cuma bingung."
"Kalau kamu saja bingung apa lagi aku?" Yun lekas menukas. "Sikapmu, surat Kang Acep,pelajaran di sekolah, hapalan kitab ...."
"Heeii stop! Aku mengajakmu ke sini cuma untuk bahas Kang Acep. Bukan yang laen-laen."
"Segeralah!" Yun tertawa menyadari keluhannya.
"Aku garisbawahi di awal, aku mau berbagi ini karena aku sayang sama kamu ya?"
"Apa?" Yun menukas sedikit menggoda. "Karena apa?"
"Karena aku sayang sama kamu!" Lies mengulang lagi. Tidak sadar Yun sedang mengoloknya.
"Terima kasih. Sayang kamu juga ...."
Eehh? Aku refleks menatap Yun yang tengah senyum-senyum. Kemudian bagai disepakati kami tertawa bersama.
"Apa siih?" kataku diantara gelak kami. "Mao lanjut gak?"
"Lanjut!" Yun buru-buru menyetop gelaknya. "Sorry, Afwan jiddan!"
"Kamu pasti dah dengar tentang Kang Acep kan?"
"Gak banyak. Tapi soal apa dulu?"
"Perempuan. Gaya pacarannya."
"O. Sedikit." Yun gak bohong. Dia memang cuma tahu sedikit. Gak banyak.
"Yun .... Suratnya kemarin kepadamu adalah suratnya yang pertama setelah hampir dua tahun dia tidak lagi pacaran, setelah putus dari Teh lna. Santriwati asal Bandung. Buat Kang Acep putus dan berganti cewek adalah hal biasa. Adalah hal mudah seperti dia membalikkan telapak tangan. Yaaa bisa dipahami, karena santriwati bejibun di sini. Dia tinggal pilih suka hati. Dan biasanya, si cewek juga dengan tanpa pikir pasti senang hati mau jadi pacarnya. Ganteng, turunan Kyai pula, cewek mana yang bisa nolak? Tapi dengan Teh lna tidak tahu alasan apa dia tidak buru-buru punya pacar lagi ...."
"Patah hati ??"
Yun melihat Lies menggelengkan kepala.
"Gaaaaakk! Kang Acep pernah bilang ke aku, dia cuma capek. Mo istirahat saja dari dunia percintaan ...."
"Waahh," Yun tertawa ditahan. "Aku gak ngira dunia cinta di pesantren ternyata kompleks juga."
"Bukan juga. Tapi bangett! Kan mereka juga manusia bukan robot yang gak punya perasaan. Kamu gak lihat para Kyai istrinya paling sedikit dua. Itu artinya .... ??"
"Apaaa?" Yun mulai lagi menahan tawa.
"Apa lagi, kalau bukan karena pesona kita perempuan memang sangat memikat kaum pria. Tidak pandang siapa dia. Mau Kyai sekalipun!"
"Iiihhh ... " Yun tertawa geli. "Kualat tar!"
"Jangan donk. Cuma pandangan umum itu ... Astaghfirullah." Lies menangkupkan dua tangannya di dada.
"Yaa terus ....??"