4# Aquamarine

29.7K 6.3K 983
                                    

Kalau Nedia bisa, dia ingin jadi debu lalu tersapu angin yang berhembus pagi itu. Mungkin kedengarannya seperti manusia yang tidak pernah bersyukur telah diberi kehidupan oleh Tuhan. Tapi Nedia benar-benar ingin lenyap dari muka bumi ini. Seperti debu, Nedia ingin menghilang tanpa jejak. Hingga tidak ada satu pun yang bisa menemukannya.

Di depan pintu penghubung lantai empat dengan rooftop, Nedia berdiri gamang. Jemarinya meremas ujung jas almamaternya hingga kusut. Nedia tidak tahu, apakah hidupnya memang untuk jadi bahan mainan seperti ini atau memang dia saja yang terlahir sial? Nedia clueless dengan hidupnya sendiri.

Setelah bermenit-menit berada dalam kegamangan, akhirnya Nedia membuka pintu dihadapannya. Angin jam 8 pagi kala itu berhembus kencang. Menabrak wajah pucatnya yang sayu. Nedia punya banyak pewarna bibir di rumah. Merek dan harganya juga bukan main-main. Bahkan saking banyaknya, lipstick-lipstick miliknya mampu menciptakan gradasi yang cantik. Tapi memakainya hanya untuk terlihat cantik di sekolah sama saja seperti menggali kuburannya sendiri.

"Nah! Ini dia nih. Jam segini baru muncul! Kemana aja lo?" Namanya Bianca, kelas 12 IPA 1. Anaknya cantik, tinggi, kulitnya putih dengan bibir tipis yang menawan. Mata dan hidungnya runcing, cocok kalau dijadikan tokoh antagonis film noir. Terakhir Nedia lihat, rambutnya berwarna ungu. Tapi hari ini, warnanya berubah hijau terang. Harusnya kelihatan aneh, tapi Bianca kelihatan cocok-cocok saja dengan warna itu.

"Cepetan jalannya! Lelet bener!!" Yang ini namanya Claudia. Satu kelas sama Bianca. Sama-sama tinggi juga. Cantik, matanya bulat dan tegas. Dengan rambut panjang yang sengaja diombre warna merah muda dan maroon. Claudia cantik, bahkan lebih cantik dari Bianca dan Noren. Tapi tidak satu pun di antara ketiga perempuan itu yang memiliki perilaku cantik. Bagi Nedia, mereka bertiga tidak lebih dari manusia-manusia cantik yang menjijikkan.

Nedia langsung mengerjap saat Claudia dengan tiba-tiba menyeretnya dan mendorongnya sampai menabrak tumpukan bangku bekas. Ada perih yang menggores pergelangan tangannya, namun Nedia geming. Tak bersuara sama sekali.

"Mana duitnya?"

Dan ini yang bernama Noren. Kalau orang-orang tidak bisa melihat dengan jelas, Noren ini seumpama malaikat tak bersayap yang mengagumkan. Parasnya bukan main cantiknya. Dengan mata almond beriris coklat muda yang jernih, hidung bangir khas wanita timur, serta bibir ranum-- yang kalau Nedia ditakdirkan jadi laki-laki, mungkin dia juga akan mendambakan bibir itu untuk ia kecup berulang-ulang kali.

Norenia Radisti punya segalanya. Wajah rupawan, harta bergelimang, pacar ganteng, teman yang banyak, keluarga yang harmonis, lalu apa lagi? Nyaris tidak ada yang tidak Noren miliki. Ah, mungkin ada satu. Noren tidak punya empati. Mungkin, jiwa perempuan itu sudah lama mati sehingga dia menjelma menjadi iblis yang rupawan.

Dengan wajahnya yang sempurna, Noren seakan-akan punya kekuatan ilusi yang mampu menyihir semua orang. Bahkan hanya dengan satu senyuman saja, semua orang bisa tunduk dan melempar berjuta-juta puja.

Masih tanpa suara, Nedia membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah amplop coklat yang gemuk. Di dalamnya ada sejumlah uang. Nedia juga tidak tahu, orang sekaya Noren bagaimana mungkin memalaknya seperti ini?

"Cuma dua juta?!" Noren berdecih. Wajah cantiknya nampak nyinyir, berikut dua antek-anteknya yang turut tertawa meremehkan.

Dalam hati Nedia membatin, seandainya dia punya kekuatan mampu mencekik orang lain hanya dengan tatapannya...

"Heh! Ngapain melotot?! Gue nanya, kenapa cuma dua juta?!" Noren marah-marah lagi. Bahkan parahnya, perempuan itu sampai memukulkan segepok uang yang ia terima ke kepala Nedia.

"Gue cuma punya uang segitu."

"Ya gue nggak mau tahu. Lo budeg ya? Gue kemarin bilang bawa duit 5 juta. Denger nggak? 5 ju-ta!" Noren semakin nyolot.

Colors in The Sky✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang