Suara debaman di lantai dasar membuat Serena berhenti menggoreskan pensilnya di atas kertas gambar. Gambar vintage dress yang ia buat itu belum terselesaikan saat suara Mama beradu lantang dengan suara Nedia. Gadis itu tersenyum kecut. Sedikit demi sedikit memaksakan pensil yang digenggamnya untuk terus bergerak.
"Jadi sekarang harga diri Mama bisa dibeli pakai uang?!!"
"Mereka itu temen-temen Papa kamu!"
"Papa siapa? Aku cuma punya Ayah!!"
"Nedia! Sekali aja kamu bisa nggak nurut aja sama Mama?"
"Ma! Mereka yang udah bikin aku nggak punya temen selama ini! Mama nggak tahu aja gimana mereka ngerendahin Mama, bicara hal buruk tentang Mama!! Mereka semua jahat, Ma!"
"Mending kamu masuk kamar. Mama pusing."
Setelah itu Serena tidak mendengar apa-apa lagi. Selain suara debam pintu di samping kamarnya yang terdengar cukup keras dan suara tangis nanar milik Nedia yang menyahut pada detik berikutnya.
Serena terdiam, lalu pandangan matanya jatuh pada refleksi lengannya yang terpantul nyata pada cermin di hadapannya. Kemudian ia meraih pencukur alis dari laci paling atas di bagian kanan tolet. Di dunia ini, tidak ada yang memiliki luka. Yang membedakan hanya, seberapa parah mereka terluka.
Saat satu garis lurus di atas lengannya mengucurkan darah setetes demi tetes, satu tarikan napas lega mengikutinya. Rasanya seperti diajak melambung di antara hampanya galaksi. Gambar yang tak terselesaikan itu, mungkin tidak akan pernah Serena selesaikan. Darah segar sudah menodai beberapa sudut bagiannya. Atau mungkin, kini gambar itu menjadi utuh.
Sebuah gaun pesta berwarna merah terang. Akhirnya, siang itu ia menangis bersama Nedia. Hanya sebuah sekat di antara mereka yang memisahkan. Jika sekat itu ditiadakan, luka dan tangis mungkin akan melebur jadi satu.
Kini, yang tersisa dalam raganya hanya jiwa yang berharap agar lekas mati. Tapi masih ada satu yang mencegahnya dan memutuskan untuk tetap memilih jalan ini.
"Ma... Serena nggak bisa." ia terisak semakin dalam. Seolah-olah perih itu tak mampu lagi mengobati, ia memilih untuk menangis dengan keras.
Untuk sekali dalam seumur hidup, Serena berharap ia memiliki seseorang untuk ia datangi di saat seperti ini. Untuk sekali sebelum ia memutuskan untuk mati, Serena berharap ia bisa menyandarkan segala lelah dan lara miliknya. Setidaknya sekali... hanya sekali.
○○○●●●》♡♡♡《●●●○○○
Setiaji menaikkan kacamata hitamnya lalu menyedot susu kotak miliknya dalam satu tarikan keras di sebuah ruang terbuka dimana tumbuhan hijau dengan subur mengelilinginya. Siang semakin terik, tapi bangku kosong di bawah pohon palem justru membuatnya tertarik. Ia sudah duduk di sana lebih dari 1 jam.
Halaman rumah sakit Dr. Soeharto Heerdjan kelihatan lebih sepi dari biasanya. Mungkin karena jam sudah menunjukan waktu makan siang dan beberapa anggota rehabilitasi memilih untuk beristirahat di dalam ruangan alih-alih di luar dengan panas yang nyaris mampu membakar Jakarta.
"Eh, tadi aku ambil dua ayam goreng. Nih, satu buat kamu."
Aji menyengir lebar saat seorang pria paruh baya duduk di sebelahnya dan mengulurkan ayam goreng bagian paha padanya.
"Aw, thank you, Bro!"
Pria itu mengangguk senang. "You are welcome." katanya.
"Jadi, istri pertama Handoko Wiriyatmaja itu bukan meninggal?"
"Memang ada berita kalau istrinya meninggal?" saat pria itu bertanya, Aji berhenti menggigit ayam gorengnya dan menoleh pada lawan bicaranya dengan pandangan intens. "1 setengah tahun aku jadi pasien di sini, aku masih sering lihat Pak Handoko datang kemari jenguk istrinya. Kadang-kadang anak perempuannya. Tapi Pak Handoko jarang sih, lebih sering anaknya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Colors in The Sky✔
Fantasy[SUDAH TERBIT] TRILOGI BAGIAN 3 Coloring is a matter of being sure or not sure. While drawing is a matter of can or cannot. And im sure to coloring your life, to drawing your dream plan. ©tenderlova2020, Colors in The Sky